WAHANANEWS.CO, Jakarta - Permintaan agar syarat pendidikan minimal calon anggota DPR-RI dinaikkan kembali memicu perdebatan sengit di ruang sidang Mahkamah Konstitusi, ketika para pemohon mendesak agar legislator wajib bergelar sarjana strata satu (S-1).
Dalam perkara nomor 162/PUU-XXIII/2025, para pemohon meminta MK mengubah ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang saat ini hanya mensyaratkan ijazah sekolah menengah atas (SMA) sebagai syarat pencalonan anggota DPR.
Baca Juga:
Usai Demo Besar, TNI AD Masih Kawal DPR dan Patroli Objek Vital
Mereka menilai, tanggung jawab DPR sebagai pemegang kekuasaan legislasi tidak sepadan bila hanya diisi oleh orang dengan pendidikan setingkat SMA, sementara profesi penafsir undang-undang seperti hakim, jaksa, hingga advokat diwajibkan bergelar sarjana hukum.
“Bila syarat legislator hanya dengan ijazah SMA, profesi yang hanya menafsirkan undang-undang seperti hakim, jaksa, advokat, wajib bergelar sarjana, sedangkan masuk akalkah jika pembentuk undang-undang justru cukup dengan lulusan sekolah menengah. Jika dibiarkan martabat Pasal 20 ayat (1) direndahkan, bahkan direduksi oleh ambang yang minimalis,” kata pemohon 1, Nanda Yuniza, dalam sidang pada Senin (22/9/2025).
Menurut para pemohon, aturan pendidikan yang terlalu rendah tidak menjamin adanya kapasitas intelektual, kemampuan analitis, maupun kualitas legislasi yang mumpuni.
Baca Juga:
Wamenkeu Ungkap Strategi Kejar Setoran Pajak Tanpa Tambah Beban Rakyat
Akibatnya, fungsi DPR sebagai pembentuk undang-undang yang seharusnya menghasilkan regulasi yang responsif dan visioner justru berpotensi menghasilkan produk hukum yang tumpang tindih, diskriminatif, bahkan abai pada kebutuhan rakyat.
Mereka menyebut banyaknya produk legislasi DPR yang akhirnya dibatalkan oleh MK bukan sekadar kelemahan teknis, melainkan cerminan rapuhnya sistem yang lahir dari syarat legislator yang dianggap minimalis.
Oleh sebab itu, pemohon meminta MK menyatakan Pasal 240 ayat (1) huruf e UU Pemilu inkonstitusional bersyarat, sehingga harus dimaknai calon anggota DPR wajib berpendidikan paling rendah lulusan S-1 atau yang sederajat.
Dalam nasihatnya, Hakim Konstitusi Saldi Isra menilai dalil pemohon masih perlu diperjelas, terutama terkait kerugian spesifik yang dialami.
"Jika diperhatikan cara bekerjanya parlemen di dunia, karena ini jabatan bergantung pada dukungan publik, jadi tidak pada kemampuan. Ini soal kepercayaan orang. Jadi (untuk) kerugian potensi dan spesifik itu apa dan belum kelihatan di permohonan ini. Lalu mengapa pasal ini bertentangan dengan UUD NRI 1945, belum ada penjelasannya,” ujar Wakil Ketua MK Saldi.
Saldi menambahkan, para pemohon diberikan waktu 14 hari untuk menyempurnakan permohonan mereka sebelum Mahkamah melanjutkan pemeriksaan.
Gugatan serupa sebenarnya telah diputus sebelumnya oleh MK pada Rabu (17/9/2025).
Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menegaskan, para pemohon saat itu memang telah menguraikan kualifikasinya sebagai warga negara, termasuk sebagai advokat dan mahasiswa, namun mereka tidak mampu menunjukkan adanya kerugian konstitusional akibat aturan yang digugat.
Dengan begitu, MK menyatakan para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak dalam perkara tersebut, sehingga permohonan tidak dapat dipertimbangkan lebih lanjut.
“Meskipun Mahkamah berwenang dalam mengadili permohonan, namun karena para pemohon perkara tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan permohonan para pemohon lebih lanjut,” tutur Enny.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]