WahanaNews.co |4 orang pimpinan dan seorang tenaga marketing perusahaan yang didakwa melakukan tindak pidana penipuan dan penggelapan dengan kerugian total Rp 84,9 miliar mengungkapkan keberatannya atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru.
Kuasa hukum mereka menyatakan dakwaan itu tak memenuhi syarat formil dan materiil.
Baca Juga:
Jessica Wongso Disebut Jaksa Manfaatkan Film Dokumenter Tarik Simpati Publik
Kelima terdakwa yang keberatan dengan dakwaan yakni Ibhakti Salim alias Bhakti selaku Direktur Utama PT Wahana Bersama Nusantara (WBN) dan Direktur Utama PT Tiara Global Propertindo (TGP); Agung Salim alias Agung selaku Komisaris Utama PT Wahana Bersama Nusantara; Elly Salim alias Elly, Direktur PT Wahana Bersama Nusantara dan Komisaris PT Tiara Global Propertindo; dan Christian Salim selaku Direktur PT Tiara Global Propertindo; serta Maryani selaku Marketing Freelance PT Wahana Bersama Nusantara dan PT Tiara Global Propertindo (penuntutan terpisah).
"Sebab perkara ini bukan pidana tapi perdata atau wanprestasi," ujar Syafardi, kuasa hukum para terdakwa, Selasa (30/11).
Dalam perkara ini, korban mengaku ditawarkan investasi dengan bunga 9 persen sampai 12 persen per tahun, dengan cara menjadi pemegang promissory note WBN dan TGP.
Baca Juga:
Ratusan Guru Gelar Aksi Solidaritas, Kawal Sidang Perdana Guru SD Konawe
Syafardi menjelaskan, sejak awal perkara ini merupakan perkara keperdataan, karena terkait dengan perjanjian. Menurut dia, proses hukumnya seharusnya ke sengketa keperdataan, bukan merupakan perkara pidana.
Kuasa hukum menilai penerapan pasal penipuan dan penggelapan sebagaimana diatur dalam Pasal 378 dan Pasal 372 KUHP dalam perkara ini sangat dipaksakan. Alasannya, dari awal tidak ada perbuatan tipu muslihat yang dilakukan para terdakwa kepada para pelapor.
Hubungan antara para pelapor dengan para terdakwa, lanjut dia, didasarkan hubungan perjanjian yang dibuat dengan kesadaran penuh oleh kedua belah pihak. Oleh sebab itu, tuduhan bahwa para terdakwa telah melakukan penipuan dan penggelapan adalah sangat tidak relevan dan terkesan dipaksakan.
"Ini juga sejalan dengan putusan No. 1601 K/Pid/1990 yang menyatakan bahwa apabila perbuatan yang mengakibatkan gagalnya perjanjian terjadi setelah perjanjian dilahirkan, maka akibat hukum yang timbul ialah wanprestasi yang merupakan ranah hukum perdata. Pandangan ini juga terdapat pada beberapa putusan lainnya," tuturnya.
Karena itu, kata Syafardi, tindakan jaksa yang membawa perkara itu ke ranah pidana merupakan kekeliruan besar. Ini dianggap menyebabkan kegamangan dalam hukum.
Dia menilai JPU juga salah dalam menempatkan locus delicti atau lokasi dugaan terjadinya tindak pidana. Dalam dakwaannya, jaksa menyebut locus delicti perkara ialah di Jalan Mawar Nomor 55 RT 33 RW 02, Kelurahan Padang Terubuk, Kecamatan Senapelan, Kota Pekanbaru.
Sementara itu, menurut Syafardi, berdasarkan data administrasi Kota Pekanbaru, RT 33 RW 02, Kelurahan Padang Terubuk, Kecamatan Senapelan tidak ada. "Locus delicti ialah syarat materiil yang harus dipenuhi dalam surat dakwaan," ucap Syafardi.
"Atas itu karena tidak terpenuhinya perumusan locus delicti secara jelas, lengkap dan cermat di dalam surat dakwaan, menyebabkan surat dakwaan batal demi hukum," imbuhnya sembari menyatakan keberatan itu telah disampaikan dalam eksepsi mereka. [dhn]