Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Indonesia (APTRI), Soemitro Samadikoen, menyebut kondisi sekarang sebagai ironi besar.
Ia mengungkapkan bahwa pabrik-pabrik gula peninggalan kolonial tidak pernah direvitalisasi sejak kemerdekaan, sehingga kalah saing dengan negara-negara penghasil gula modern.
Baca Juga:
Dari Tas Mewah hingga BMW: Gaya Hedon Anak Seret Ibunya ke Skandal Korupsi Rp2 Miliar
"Masalahnya pabrik gula peninggalan Belanda ini tidak direvitalisasi sejak merdeka. Bangun pabrik baru juga sangat sedikit. Rendemen sangat rendah, karena masih pakai mesin lama. Bagaimana mungkin pabrik gula yang masih pakai ketel uap peninggalan Belanda bisa bersaing," kata Soemitro.
Yang lebih menyedihkan, menurutnya, justru yang banyak dibangun pada masa Orde Baru adalah pabrik gula rafinasi untuk kebutuhan industri, yang bahan bakunya sebagian besar berasal dari luar negeri.
Sebagai perbandingan, produksi gula Indonesia saat ini hanya sekitar 2,2 juta ton, jauh di bawah Brasil (29 juta ton), India (29 juta ton), Tiongkok (11 juta ton), dan Thailand (5 juta ton).
Baca Juga:
Kasus Korupsi DED Kawasan Wisata di Nias Utara: PPK Kembalikan Uang Rp200 Juta
Padahal pada 1930, produksi gula Indonesia sempat menyentuh angka 3 juta ton, dan penduduknya jauh lebih sedikit dibandingkan sekarang.
Kondisi ini menggambarkan bahwa persoalan gula tidak sekadar urusan kebijakan satu menteri, tapi warisan problem struktural yang belum pernah diselesaikan secara serius.
Vonis terhadap Tom Lembong mungkin menjadi penanda babak baru, namun tanpa reformasi menyeluruh, impor gula akan tetap menjadi luka kronis dalam tubuh perekonomian Indonesia.