WahanaNews.co | Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta agar secara utuh dan detail dalam memeriksa perusahaan terkait dugaan suap izin pembukaan gerai yang menjerat Walikota Ambon, Richard Louhenapessy.
Hal tersebut disampaikan oleh Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Junisab Akbar.
Baca Juga:
Waduh! Beberapa Gubernur Masuk Radar KPK Soal Kasus PT Asuransi Bangun Askrida
Selain Richard, lanjut Junisab, dalam kasus ini KPK menjerat dua tersangka lain yakni, staf tata usaha pimpinan Pemkot Ambon Andrew Erin Hehanusa, dan staf Alfamidi, Amri.
"Kasus suap Walikota Ambon diduga kuat terstruktur dengan melibatkan oknum yang mendapat upah atau penghasilan dari korporasi pemilik gerai retail yang puluhan izinnya diterbitkan," ujar Junisab di Jakarta, Selasa (28/6/2022).
Junisab menuturkan, dalam pemberitaan diketahui saat ini KPK juga memeriksa Solihin, Dirut Midi Utama Indonesia (Alfamidi) yang berlangsung selama 12 jam dengan mencecar 20 pertanyaan.
Baca Juga:
Eks Walkot Ambon Richard Louhenapessy Ditetapkan Jadi Tersangka Pencucian Uang
Ternyata sebelumnya, Solihin sebagai kuasa Direksi juga diperiksa KPK dalam kasus dugaan suap perizinan di Kabupaten Penajam Paser Utara. Selain Solihin diperiksa juga Kepala Cabang Alfamidi Gunardi, dan Kepala Cabang PT Indomarco Pristama (Indomaret) Widodo.
"Dua kasus suap yang terungkap beruntun itu layak untuk jadi pelajaran berharga bagi penegak hukum dalam hal ini KPK. Apalagi perusahaan-perusahaan pemilik gerai retail itu ada sahamya tertutup namun ada yang sudah listing di Bursa Efek Indonesia (BEI), malah harga saham Alfamart dan Alfamidi naik sepanjang 2021," jelasnya.
Dia pun mempertanyakan kinerja pengawasan oleh BEI terhadap perilaku perusahaan tersebut. Apalagi saat ini KPK tengah menyidik terkait pengelolaan perusahaan yang sudah initial public offering (IPO) di bursa. Jika perusahaan saham tertutup dan yang IPO minimal sudah punya gerai berjumlah di atas 15 ribu maka bagaimana mereka urus puluhan ribu izin yang justru berakhir suap.
'Arus kas perusahaan dan jejak digital diantara Direksi dan pihak-pihak lain bisa diungkap KPK," paparnya.
"Prinsipnya tidak ada untung pihak ketiga terhadap sukses terbit izin berdiri gerai milik perusahaan waralaba atau pemegang lisensinya sehingga harus sampai menyuap. Jadi sangat sulit untuk memahami ada pihak yang rela menyuap Walikota atau Bupati sampai tertangkap demi keuntungan pihak lain yakni pebisnis waralaba," tambahnya.
Menurutnya, sudah sepantasnya KPK dan BEI melakukan konsolidasi secara berkesinambungan untuk melakukan audit forensik terkait perizinan itu. Atau minimal mengaudit kinerja perusahaan pemgumpul dana publik tersebut, Apa tidak cukup upaya KPK yang dipublikasi media untuk mendorong BEI menerapkan pengawasan dan menjatuhkan sanksinya.
"Apa harus ada pelapor? Idealnya mereka harus kreatif mengawasi perusahaan IPO. BEI jangan menisbikan kewenangan saat negara hendak berantas kejahatan. Agar sinergitas membenahi upaya penegakan hukum berjalan maksimal. Tetapi jika harus tertulis maka walau agak merepotkan tentu IAW akan mencoba melayangkan pelaporan tersebut. Harapan kami tugas pokok fumgsi BEI bisa diterapkan dengan maksimal," tandasnya.
Diketahui, KPK telah menetapkan tersangka Wali Kota Ambon Richard Louhenapessy (RL) atas kasus dugaan suap pemberian persetujuan Izin Prinsip Pembangunan Cabang Usaha Retail Di Kota Ambon tahun 2020 bersama staf tata usaha pimpinan pada Pemkot Ambon Andrew Erin Hehanusa, dan staf Alfamidi, AR.
Saat ini KPK juga telah mengumpulkan berbagai informasi dan data, di antaranya bahan keterangan terkait dugaan tindak pidana korupsi, menelaah dan menganalisa, melanjutkan ke tahap penyelidikan yang kemudian ditemukan adanya bukti permulaan yang cukup.
KPK sebutkan dalam kurun waktu 2020, RL yang menjabat Wali Kota Ambon periode 2017/2022 memiliki kewenangan, di antaranya terkait pemberian persetujuan izin prinsip pembangunan cabang retail di Kota Ambon. Dalam proses pengurusan izin tersebut, diduga AR aktif berkomunikasi hingga melakukan pertemuan dengan RL agar proses perizinan bisa segera disetujui dan diterbitkan.
Menindaklanjuti permohonan AR ini, kemudian RL memerintahkan Kadis PUPR Pemkot Ambon untuk segera memproses dan menerbitkan berbagai permohonan izin. Di antaranya Surat Izin Tempat Usaha (SITU), Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP).
Maka untuk setiap dokumen izin yang disetujui dan diterbitkan dimaksud, RL meminta agar penyerahan uang minimal Rp 25 juta menggunakan rekening bank milik Andrew Erin Hehanussa (AEH) sebagai orang kepercayaan RL.
AR diduga kembali memberikan uang kepada RL sekitar Rp 500 juta yang diberikan secara bertahap melalui rekening bank milik AEH. [rsy]