WahanaNews.co | Petugas Direktorat Jenderal Imigrasi (Ditjenim)
Kementerian Hukum dan HAM mengakui, ada permintaan
dari Divisi Hubungan Internasional (Divhubinter) Mabes Polri terkait penghapusan nama Djoko Soegiarto Tjandra
dalam Enhanced
Cekal System (ECS) pada Sistem
Informasi Keimigrasian (SIMKIM).
ECS
merupakan sistem cekal terpusat yang terhubung secara online ke tempat pemeriksaan Imigrasi di daerah.
Baca Juga:
Pemkab Dairi Siap Dukung Gugus Tugas Polri Sukseskan Ketahanan Pangan
Informasi
tersebut diungkap oleh Kepala Subdirektorat Cegah Tangkal Dirwasdakim pada
Ditjen Imigrasi, Sandi Andaryadi, dalam sidang lanjutan kasus penghapusan nama Djoko Tjandra dari
Daftar Pencarian Orang (DPO) dengan Terdakwa Brigjen Prasetijo Utomo di Pengadilan
Tipikor Jakarta, Senin (23/11/2020).
Ia
menerangkan, pada kurun waktu Mei 2020 pihaknya menerima surat Nomor: B/1030/V/2020/NCB-Div HI tanggal 04 Mei 2020
dan surat Nomor:
B/1036/V/2020/NCB-Div HI tanggal 05 Mei 2020.
Keduanya
ditandatangani oleh Sekretaris NCB Interpol Indonesia Divhubinter Polri,
Brigjen Nugroho Slamet Wibowo.
Baca Juga:
Perang Melawan Narkoba: Polda Sumut Ungkap 32 Kasus dan Sita 201 Kg Sabu, 272 Kg Ganja serta 40.000 butir Ekstasi
"Kedua
surat tersebut berasal dari Divhubinter dan ditandatangani oleh Ses NCB
Indonesia atas nama Brigjen Slamet Wibowo, kalau tidak salah. Dua-duanya
ditandatangani oleh pejabat yang sama," terang Sandi di ruang sidang
Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (23/11/2020).
Ia
menjelaskan, surat tertanggal 4 Mei berisi pembaharuan data Interpol Notice dan
penegasan bahwa NCB Interpol berwenang menerbitkan Red Notice, bukan DPO.
Sementara
surat tanggal 5 Mei mengenai penghapusan nama Djoko Tjandra dari daftar Red
Notice Interpol sejak 2014.
"Di
surat (tanggal 5) itu diinformasikan bahwa Red Notice nomor A sekian tahun 2009
atas nama Djoko Soegiarto Tjandra sudah terhapus dari sistem basis data
Interpol," tutur dia.
Sandi
berujar, kedua surat tersebut merupakan inisiasi dari divisi yang dipimpin oleh
Irjen Napoleon Bonaparte.
Menanggapi
itu, lanjut dia, pihaknya lantas berdiskusi dan menyepakati untuk menghapus
nama Djoko Tjandra dalam ECS --yang
sudah dimasukkan sejak 2015.
"Karena
kami melihat bahwa rujukan untuk mencantumkan nama Djoko Tjandra itu merujuk
padaRed Notice, yang kemudian pada surat tanggal 5
disebutkan bahwaRed Notice[Djoko Tjandra]sudah terhapuskan
dalam sistem, sehingga tidak ada rujukan atau dasar untuk menempatkan nama
dalam sistem kami," pungkas Sandi.
Dalam
perkara ini, mantan Kadivhubinter Polri Irjen Napoleon Bonaparte dan mantan
Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri, Brigjen Prasetijo Utomo, didakwa menerima suap dari Djoko Tjandra.
Suap
tersebut dimaksudkan guna membantu menghapus nama Djoko Tjandra dari daftar DPO
yang tercatat di Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM.
Berdasarkan
hal itu, Djoko nantinya bisa masuk ke wilayah Indonesia secara sah dan tidak
ditangkap oleh aparat penegak hukumakibat masih berstatus buronan.
Penghapusan
nama dari DPOitu terkait rencana untuk mendaftar Peninjauan Kembali (PK)
atas putusan Mahkamah Agung (MA) yang menghukum DjokoTjandra dengan
pidana 2 tahun penjara dan denda Rp 15
juta subsider 3 bulan kurungan atas korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali.
Adapun
Napoleon, disebut menerima uang sejumlah Sin$ 200 ribu dan US$ 270
ribu. SementaraPrasetijo menerima uang US$ 150 ribu. [dhn]