WahanaNews.co, Jakarta - Industri pertahanan Indonesia saat ini tengah berfokus pada upaya mengejar ketertinggalan dan membangun industri yang mandiri serta mampu bersaing di pasar global.
Upaya ini telah menghasilkan pembentukan sebuah holding industri pertahanan yang diberi nama DEFEND ID, yang merupakan kolaborasi antara Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Kementerian Pertahanan.
Baca Juga:
Kapolsek Kulon Progo Ungkap Motif Bunuh Diri Ipda BS: Bisnis Ternak Kambing
Holding ini dipimpin oleh PT LEN Industri dan terdiri dari berbagai perusahaan BUMN, seperti PT Pindad, PT Dirgantara Indonesia, PT PAL, dan PT Dahana.
Direktur Utama DEFEND ID, Bobby Rasyidin, mengungkapkan bahwa penggabungan ini telah memberikan hasil yang positif bagi perusahaan-perusahaan industri pertahanan tersebut.
Kinerja perusahaan-perusahaan tersebut terus meningkat setelah dilakukannya penggabungan tersebut.
Baca Juga:
China Ancam AS, Minta Segera Kurangi Senjata Nuklir
"Karena kami sudah bersama-sama dan kekuatan itu ada di sana, kami lebih percaya diri untuk ambil proyek domestik, tentunya stakeholder utamanya Kementerian Pertahanan. Cukup signifikan juga dibandingkan dengan renstra yang lalu," beber Bobby, melansir detikcom, Jumat (5/4/2024).
Bobby menyebutkan kinerja perusahaan sudah enam kali lipat lebih baik sejak holding industri pertahanan dibentuk. Jumlah proyek yang digarap juga makin besar.
"Jumlah programnya itu bahkan pengalinya 10, kalau 2014-2019 cuma 10 program dari Kementerian Pertahanan, sekarang kita kerjakan 100 program," beber Bobby.
Saat ini, telah banyak dilakukan integrasi korporasi yang dapat memberikan efektivitas yang signifikan.
Sebagai contoh, dalam hal biaya teknologi dan manajemen sumber daya manusia, yang sebelumnya dilakukan secara terpisah oleh masing-masing perusahaan, kini telah digabungkan menjadi satu entitas yang lebih efisien.
Dari segi pengembangan sumber daya manusia juga mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan oleh adanya penggabungan lima BUMN bidang pertahanan, yang menghasilkan mobilitas karyawan yang lebih baik untuk mengeksplorasi berbagai bidang di berbagai perusahaan.
"Termasuk talent mobility, tadinya satu engineer yang stay di sana terus sekarang bisa muter-muter," sebut Bobby.
Menurutnya lewat penggabungan ini, masing-masing perusahaan akan saling mengisi satu sama lain dalam menggarap sebuah proyek.
Pasalnya semua BUMN industri pertahanan memiliki spesifikasi masing-masing, misalnya LEN Industri memiliki keahlian sistem operasi, kemudian Pindad, PAL, dan Dirgantara memiliki keahlian membangun platform pertahanan. Terakhir, ada Dahana memiliki keahlian untuk urusan peledak.
"Banyak program atau proyek yang kita lakukan bersama, misalnya modernisasi kapal, tadinya dilakukan hanya PT PAL, sekarang berbarengan. PT PAL platform-nya, LEN sistemnya," kata Bobby mencontohkan.
Bobby mengatakan saat ini pihaknya menargetkan agar industri pertahanan Indonesia bisa masuk menjadi 50 besar dunia.
Sebelum holding DEFEND ID terbentuk dan industri pertahanan disentralisasi peringkat Indonesia sangat jeblok yaitu tidak masuk dalam peringkat 100 besar.
Saat ini, industri pertahanan Indonesia masih berada di peringkat 76 dalam skala global. Pihak terkait menargetkan agar industri pertahanan bisa naik ke peringkat 60 pada tahun ini, dan mencapai peringkat 50 pada tahun 2025.
Bobby menyatakan, "Tahun lalu, kita berada di peringkat 76. Harapannya tahun ini bisa masuk ke peringkat 60-an, dan target kita pada tahun 2025 adalah masuk ke dalam 50 besar."
Salah satu faktor yang mempengaruhi peringkat Indonesia dalam industri pertahanan global adalah tingkat pengeluaran pertahanan. Secara ideal, pengeluaran anggaran pertahanan seharusnya mencapai lebih dari 2% dari total Produk Domestik Bruto (PDB), sedangkan secara global rata-rata pengeluaran pertahanan adalah 2,3%.
Namun, di Indonesia, pengeluaran pertahanan masih jauh dari standar tersebut, bahkan tidak mencapai 1% dari PDB. Padahal, untuk dapat masuk ke dalam 50 besar dunia, minimal pengeluaran pertahanan harus mencapai 2%.
"Nah kalau bicara hari ini spending kita cuma 0,78% di bawah 0,8% itu jauh di bawah rata-rata dunia. Apalagi dengan tensi geopolitik dunia yang meningkat juga, eskalatif," ungkap Bobby.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]