WahanaNews.co, Jakarta - Mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia, Emisyah Satar, menghadiri sidang dakwaan dalam kasus korupsi pengadaan pesawat Bombardier CRJ-100 dan ATR-72600 di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) Jakarta, Senin (18/9/2023).
Jaksa menyatakan bahwa kasus tersebut telah menimbulkan kerugian negara sebesar US$ 609.814.504 (setara dengan Rp 9,3 triliun dengan kurs dolar Rp 15.300).
Baca Juga:
Jessica Wongso Disebut Jaksa Manfaatkan Film Dokumenter Tarik Simpati Publik
"Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi, yaitu memperkaya diri sendiri Emisyah Satar, atau memperkaya orang lain yaitu, Agus Wahjudo, Hadinoto Soedigno, Soetikno Sedarjo, ATR, EDC/ Alberta SAS dan Nordic Aviation Capital yang merugikan negara atau perekonomian negara, yaitu keuangan negara Cq PT Garuda Indonesia seluruhnya sebesar 609.814.504 US dolar," kata jaksa, Senin (18/9/2023).
Jaksa menyatakan bahwa Emirsyah Satar, tanpa hak, memberikan informasi tentang rencana pengadaan armada atau Fleet Plan PT Garuda Indonesia yang merupakan informasi rahasia perusahaan kepada Soetikno Sudarjo.
Informasi tersebut kemudian diteruskan kepada Bernard Duc, yang merupakan Commercial Advisor dari Bombardier.
Baca Juga:
Ratusan Guru Gelar Aksi Solidaritas, Kawal Sidang Perdana Guru SD Konawe
Menurut Jaksa, Emirsyah Satar telah mengubah rencana kebutuhan pesawat Sub 100 Seater.
Awalnya, rencana tersebut mencakup kapasitas 70 kursi tipe jet, namun ia mengubahnya menjadi kapasitas 90 kursi tipe jet tanpa adanya penetapan dalam Rencana Jangka Panjang Perusahaan.
"Emirsyah selaku Direktur Utama PT Garuda Indonesia memerintahkan Adrian Azgar dan Setijo Awibowo untuk melakukan pengadaan Pesawat Sub 100 Seater dengan kapasitas 90 Seats. Padahal rencana pengadaan Pesawat Sub 100 Seater dengan kapasitas 90 Seats belum dimasukkan dalam RJPP PT. Garuda Indonesia (Persero) Tbk," ujar jaksa.
Emirsyah Satar juga menginstruksikan pada Setijo Awibowo dan Adrian Azgar membuat feasibility study pengadaan Pesawat Sub100 seater tipe Jet kapasitas 90 seater yang belum ditetapkan dalam RJPP dan tidak dilengkapi dengan Laporan Hasil Analisa Pasar dan Laporan Hasil Analisa Kebutuhan Pesawat.
Menurut jaksa, Emirsyah Satar telah memerintahkan Sutijo Awibowo, Agus Wahjudo, Albert Burhan dan Adrian Azgar selaku tim pengadaan, mengubah kriteria pemilihan dalam pengadaan pesawat jet Sub-100 dari pendekatan Analytical Hierarchy Process (AHP) menjadi pendekatan economic sub kriteria NVP (Net Value Present) dan Route Result, tanpa persetujuan dari Board Of Direction (BOD), dengan tujuan, untuk memenangkan pesawat bombardir dalam pemilihan armada di PT Garuda Indonesia Tbk.
"Terdakwa Emirsyah Satar selaku Direktur Utama PT Garuda Indonesia tbk. bersama sama Hadinoto Soedigno, Agus Wahjudo, bersepakat dengan Soetikno Soedarjo, Bernard Doc dan Trung Ngo meminta pihak Bombardier untuk membuat data-data analisis tentang kelebihan pesawat Bombardier CRJ-1000 dibandingkan dengan Embraer E-190 berdasarkan perhitungan Net Present Value atau NPV dan Route Result pada kriteria ekonomi sebagai dasar memenangkan pesawat bombardier dalam pemilihan armada PT Garuda Indonesia Tbk," ungkap jaksa.
Jaksa mengatakan Emirsyah Satar bersama-sama dengan Agus Wahjudo dan Hadinoto Soedigno selaku Direktur Teknik PT Garuda Indonesia dan merangkap sebagai Direktur Produksi pada PT Citilink Indonesia melakukan persekongkolan dengan Soetikno Sudarjo selaku Commercial Advisor Bombardier dan ATR untuk memenangkan bombardier dan ATR dalam pemilihan pengadaan pesawat pada PT GA.
Meskipun pesawat Bombardier CRJ-1000 dan ATR72-600 tidak sesuai dnegan konsep bisnis PT Garuda Indonesia sebagai perusahaan penerbangan yang menyediakan layanan full service.
Jaksa juga menyebut Emirsyah Satar bersama-sama dengan Albert Burhan, M. Arif Wibowo dan Hadinoto Soedigno masing-masing selaku Direksi PT Citilink Indonesia tanpa melalui rapat direksi memberikan persetujuan untuk pengadaan pesawat turbo propeller tanpa adanya feasibility study yang memadai, serta belum ditetapkan dalam RJPP maupun RKAP di mana tipe pesawat tersebut tidak sesuai dengan sisi pelayanan low cost carier Citilink Indonesia yang kemudian dalam pengadaanya diambil alih oleh PT Garuda Indonesia.
"Emirsyah Satar selaku Direktur Utama PT Garuda Indonesia bersama dengan Albert Burhan juga melakukan Pembayaran Pre Delivery Payment PDP Pembelian Pesawat ATR 72-600 kepada Manufactur ATR sebesar 3.089.300,00 dolar Amerika, padahal mekanisme pengadaan ATR dilakukan secara sewa."
Menurut jaksa, Emirsyah Satar bersama dengan Albert Burhan melakukan pembayaran PDP pembelian pesawat CRJ-1000 kepada Bombardier sebesar 33.916.003,80 dolar Amerika, padahal mekanisme pengadaan CRJ-1000 dilakukan secara sewa.
"Perbuatan tersebut bertentangan dengan ketentuan UU 1 pasal 5 ayat 3, pasal 6 ayat 3, pasal 7 UU RI no 19 2003 tentang Badan Usaha Milik Negera," terang jaksa.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]