WahanaNews.co, Surabaya - Dalam kasus dugaan pemalsuan akta otentik Gedung Grha Wismilak, Jalan Raya Darmo, Surabaya, Polda Jawa Timur (Jatim) mengaku menjadi korban mafia tanah.
"Kami saja polisi bisa tertipu, bagaimana dengan masyarakat umum? Siapapun bisa menjadi korban mafia tanah," kata Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dirreskrimsus) Polda Jatim, Kombes Farman, Sabtu (18/8/2023) melansir CNNIndonesia.com.
Baca Juga:
Pontjo Sutowo Kembali Gugat Pemerintah Terkait Sengketa Hotel Sultan
Ia mengatakan hal itu terungkap saat Kapolda Jatim Irjen Toni Harmanto memerintahkan jajarannya untuk mengecek aset-aset milik Polri di wilayah Jatim pada Maret 2023 lalu.
Dari situ lah, kemudian diketahui fakta gedung yang berlokasi di Jalan Raya Darmo Nomor 36-38, Surabaya itu, merupakan aset milik Polri.
"Gedung tersebut awalnya merupakan kantor polisi sejak 1945, hingga terakhir menjadi Mapolresta Surabaya Selatan. Aset ini berpindah ke tangan pada 1993," katanya.
Baca Juga:
PPKGBK Minta PT Indobuildco Segara Kosongkan Hotel Sultan
Dari hasil supervisi, Polri seharusnya menerima tanah seluas 4.000 meter, sebagai kompensasi alih lahan Gedung Grha Wismilak itu.
Selain mendapat kompensasi tanah seluas 4.000 meter persegi, polisi juga dijanjikan bangunan pengganti Mapolresta dan kendaraan operasional untuk patroli.
Kompensasi itu dijanjikan usai terbit Hak Guna Bangunan (HGB) 648 dan 649. Anehnya, HGB sudah keluar saat gedung masih ditempati sebagai Mapolresta Surabaya Selatan.
Namun dari hasil pendalaman, kompensasi yang dijanjikan, yakni tanah seluas 4.000 meter, bangunan Mapolresta Surabaya Selatan hingga kendaraan operasional tak pernah ada.
Sementara tanah yang kini ditempati Mapolresta Dukuh Pakis, adalah lahan pinjaman milik Pemkot Surabaya, dan baru resmi dihibahkan 2019 lalu.
"Lahan yang ditempati itu bukan tanah kompensasi. Melainkan tanah pinjaman, yang kemudian baru dihibahkan oleh Pemkot Surabaya pada 2019," ucap Farman.
Farman mengatakan HGB Nomor 648 dan 649 atas Grha Wismilak itu didasarkan pada SK Kanwil BPN Nomor 1051 dan 1052 yang ternyata tidak terdaftar di BPN.
"Hasil dari gelar kemarin diputuskan bahwa HGB dimaksud cacat hukum, cacat administrasi dan cacat yuridis dalam penerbitannya," tegas dia.
Karena itu, Farman pun melakukan pendalaman ini dengan memeriksa sebanyak 22 orang saksi dan lima ahli. Pihaknya juga akan segera menetapkan tersangka.
"Kami sudah ada dugaan kuat siapa calon tersangka, sudah ada. Baik dari penjual, pembeli maupun dari oknum polisi dan BPN yang terlibat dalam permasalahan ini yang mengakibatkan aset Polri terlepas akan kami proses hukum," pungkasnya.
Sebelumnya, penyidik Subdit III Ditreskrimsus Polda Jatim menggeledah Gedung Grha Wismilak di Jalan Raya Darmo, Surabaya, Senin (14/8). Penggeledahan ini diduga terkait kasus dugaan pemalsuan akta otentik hingga korupsi.
Tak hanya itu, polisi juga menyegel dan menyita gedung cagar budaya itu dengan police line dan plang, bertuliskan surat penetapan izin khusus penyitaan dari Pengadilan Negeri (PN) Surabaya Nomor: 62/PenPid. Sus-TPK-SITA/2023/PN Sby.
Sementara itu, anggota tim hukum Wismilak Sutrisno mengatakan polisi tak memiliki dasar hukum untuk menyegel dan menyita gedung. Mereka mengklaim telah membeli tanah dan gedung itu sejak 1993.
"Itu tidak ada dasar hukumnya. Karena apa? Karena sampai hari ini sertifikat tanah dan bangunan masih milik Wismilak, sudah 30 tahun lebih sejak 1993," kata dia.
Sutrisno menjelaskan gedung sudah dibeli oleh Wismilak melalui PT Gelora Djaja dari seorang pengusaha atau bankir bernama Nyono. Namun, belum ada catatan dan literatur pasti yang menjelaskan siapa Nyono sebenarnya.
"Jadi PT Gelora Djaja membeli tanah dan bangunan itu sudah dalam keadaan kosong, enggak ikut-ikut masalah ruislag. Jadi sertifikat HGB sudah atas nama Nyono, [Wismilak] enggak ada kaitan dengan Polres Surabaya Selatan," ucapnya.
[Redaktur: Alpredo Gultom]