WahanaNews.co, Jakarta – Kasus dugaan korupsi proyek pembangunan Pabrik Gula (PG) Djatiroto di PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XI, Jawa Timur, pada periode 2016 tengah diusut Bareskrim Polri.
"Proyek ini sebagai tindak lanjut program strategis BUMN didanai oleh PMN yang dialokasikan pada APBN-P tahun 2015," ujar Direktur Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri Kombes Arief Adiharsa dalam keterangan tertulis, Jumat (12/8).
Baca Juga:
Kasus Situs Judol Slot Jaringan China, Bareskrim Kembali Sita Aset Rp13,8 Miliar
Arief menjelaskan tindak pidana korupsi pada proyek tersebut diduga terjadi mulai dari tahap perencanaan, pelelangan, pelaksanaan serta pembayaran yang tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan yang ada.
Akibatnya proyek pembangunan senilai Rp871 miliar tersebut tidak kunjung rampung meski telah berjalan hampir tujuh tahun dan justru menimbulkan kerugian keuangan negara.
Ia menjelaskan dari hasil penyidikan yang dilakukan, anggaran PG Djatiroto di Lumajang, Jawa Timur tersebut tidak tersedia seluruhnya seperti yang tertuang dalam nilai kontrak.
Baca Juga:
Kenali Modusnya, Waspada Penipuan Online Baru di LinkedIn
Selain itu, Arief menyebut Direktur Utama dan Direktur Perencanaan Pengembangan Bisnis PTPN XI bekerja sama untuk meloloskan KSO Hutama-Eurrosiatic-Uttam sebagai penyedia untuk proyek konstruksi tersebut.
"Direktur Perencanaan Pengembangan Bisnis PTPN XI berinisial AT meminta panitia untuk membuka lelang. Sedangkan HPS masih direview oleh tim konsultan PMC," jelasnya.
Di sisi lain, ia menyebut pihak panitia tetap melanjutkan proses lelang proyek meskipun pada tahapan prakualifikasi hanya PT WIKA saja yang memenuhi syarat. Padahal KSO Hutama-Eurrosiatic-Uttam dan 9 perusahaan lainnya tidak memenuhi persyaratan untuk ikut lelang.
"Untuk perusahaan KSO Hutama-Eurrosiatic-Uttam gagal karena dukungan bank belum merupakan komitmen pembiayaan proyek dan lokasi workshop di luar negeri," jelasnya.
Arief mengatakan terdapat perubahan kontrak perjanjian yang tidak sesuai dengan Rencana Kerja Syarat (RKS) dengan menambahkan biaya uang muka 20 persen.
Selain itu perubahan lainnya juga dilakukan dengan menambah mekanisme pembayaran letter of credit atau LC ke rekening luar negeri. Tahapan pembayaran procurement itulah yang kemudian menguntungkan pihak penyedia tanpa mengikuti proses GCG.
Selanjutnya, kontrak perjanjian juga ditandatangani tidak sesuai dengan tanggal yang tertera karena seharusnya masih dalam tahap pengkajian oleh kedua belah pihak dari 23 Desember 2016 sampai dengan Maret 2017.
"Proyek dikerjakan tanpa adanya studi kelayakan. Jaminan uang muka dan jaminan pelaksanaan expired dan tidak pernah diperpanjang. Metode pembayaran barang impor atau letter of credit tidak wajar," tuturnya.
Arief mengatakan penyimpangan tersebut kemudian berdampak hingga akhirnya membuat pekerjaan proyek menjadi mangkrak dan uang PTPN XI sudah keluar kepada kontraktor hampir 90 persen.
"Penyidik sudah mengirimkan surat ke BPK untuk meminta penghitungan kerugian negara dan hingga saat ini belum ada penetapan tersangka," ungkapnya.
[Redaktur: Alpredo Gultom]