WahanaNews.co, Jakarta - KPK meminta keterangan dari 191 orang terkait dugaan praktik pungutan liar (pungli) di Rumah Tahanan (Rutan) KPK.
Orang-orang yang dimintai keterangan termasuk mantan tahanan atau narapidana, petugas penjaga rutan, dan pihak swasta.
Baca Juga:
Didominasi Penegak Hukum, MAKI: Pimpinan Baru KPK Tak Mewakili Masyarakat dan Perempuan
"Terakhir kemarin kami sampaikan 190 (orang diperiksa), tapi 12 Januari lalu sudah bertambah satu orang yang kami lakukan pemeriksaan, sekitar 191 orang saat ini," kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri, Selasa (23/1/2024).
Ia menyebut pihaknya juga telah memeriksa dua ahli hukum.
"Sudah dua orang ahli hukum (diperiksa) untuk menentukan bahwa ini adalah kewenangan KPK dalam proses penyelidikan dan juga nanti penyidikan," jelasnya, dikutip dari Tribunnews.com.
Baca Juga:
Setyo Budiyanto Terpilih sebagai Ketua KPK: OTT Tetap Senjata Utama
Ali menegaskan bahwa kasus dugaan pungutan liar ini akan menjadi bahan evaluasi untuk perbaikan tata kelola di Rutan ke depannya.
Sebelumnya dilaporkan bahwa 93 pegawai KPK diduga terlibat dalam praktik pungutan liar di Rutan KPK.
Dewan Pengawas (Dewas) KPK telah memulai sidang etik terhadap 93 pegawai tersebut, dimulai pada Rabu (17/1/2024).
Anggota Dewas KPK, Albertina Ho, menyatakan bahwa sidang etik terhadap puluhan pegawai KPK tersebut tidak dilakukan secara serentak.
Dia juga mengungkapkan perkembangan terkait estimasi nilai pungutan liar di Rutan KPK yang melibatkan 93 pegawai tersebut.
Awalnya, temuan Dewas KPK pada September 2023 menyebutkan bahwa jumlah pungli di Rutan KPK mencapai Rp 4 miliar. Namun, Albertina belakangan menyatakan bahwa nilai pungli di Rutan KPK sebenarnya mencapai Rp 6,14 miliar.
"Teman-teman menanyakan totalnya berapa? Saya tidak bisa menyatakan yang pasti, tetapi sekitar Rp 6,148 miliar sekian itu total kami di Dewas," kata Albertina dalam konferensi pers di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, Jakarta Selatan, Senin (15/1/2024) lalu.
Lebih lanjut ia menyebut dari jumlah tersebut setiap orang yang terlibat menerima besaran yang bervariasi. Mulai dari Rp1 juta hingga Rp 504 juta.
"Kalau kita hubungkan dengan uang-uang yang diterima, paling sedikit menerima Rp 1 juta paling banyak Rp 504 juta sekian," ujarnya.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]