WAHANANEWS.CO, Jakarta - Korporasi bukan sekadar kumpulan manusia, melainkan entitas hidup dengan kultur, prosedur, dan sistem kerja yang bisa melahirkan tindak pidana, dan inilah titik lemah hukum Indonesia saat berhadapan dengan kejahatan korporasi yang semakin kompleks.
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Airlangga (FH Unair), Maradona, menilai problem klasik pertanggungjawaban pidana korporasi masih menjadi batu sandungan karena hukum acara pidana yang berlaku cenderung berfokus pada pelaku perorangan, padahal kejahatan korporasi kini kian masif.
Baca Juga:
122 Juta Rekening Dormant Sudah Diblokir, PPATK Kini Pantau E-Wallet
“Kita masih berperspektif bahwa pelaku pidana adalah manusia saja. Padahal, dalam banyak kasus, perusahaan bertindak sebagai entitas yang memiliki kehendak sendiri, dengan sistem dan kebijakan internal yang bisa menimbulkan kerugian besar,” ujar Maradona dalam Seminar Nasional di Universitas Brawijaya, Kamis (28/8/2025).
Ia mengungkapkan kerap muncul inkonsistensi dalam praktik, misalnya pengadilan menyebut korporasi sebagai terdakwa, namun identitas yang dibacakan justru nama direktur atau pengurus, sehingga menimbulkan persoalan baru ketika perusahaan dijatuhi pidana tambahan berupa denda atau ganti rugi.
“Pertanyaannya, siapa yang harus membayar? Apakah pengurus saat tindak pidana dilakukan, atau pengurus yang sedang menjabat ketika putusan dijalankan,” ujarnya.
Baca Juga:
Dugaan Tindak Pidana Pemeretelan Mobil Dinas DPRD Tapteng, 7 Saksi Dimintai Keterangan
Lebih jauh, Maradona menekankan pentingnya memandang korporasi sebagai entitas yang mampu bertindak pidana, dan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru, konsep atribusi mulai mengakomodasi hal itu, yakni pembebanan perbuatan pengurus, karyawan, atau pihak lain yang memiliki kontrol efektif kepada korporasi.
“Jika sistem perusahaan mendorong terjadinya pelanggaran, maka korporasi harus dimintai pertanggungjawaban, bukan hanya individu pelaksana di lapangan,” jelasnya.
Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Kuntadi, juga menegaskan perlunya modernisasi hukum untuk menjawab fenomena kejahatan korporasi, apalagi perkembangan teknologi dan dinamika sosial telah memunculkan modus baru yang memanfaatkan kelemahan regulasi.
“Pesatnya kemajuan dan lambatnya adaptasi hukum membuat celah bagi pelaku, termasuk korporasi, untuk menyalahgunakan sistem,” kata Kuntadi.
Ia menyebut ada tiga aspek utama dalam modernisasi hukum, yakni aturan yang adaptif, doktrin hukum yang tepat, dan aparat penegak hukum yang kompeten, sebab tanpa sinergi ketiganya penegakan hukum terhadap korporasi sulit mencapai keadilan.
Kuntadi juga menyoroti pendekatan pemulihan kerugian negara yang diperluas dalam KUHP baru, di mana pemulihan tidak hanya pada keuntungan pelaku, melainkan kerugian akibat tindak pidana yang sifatnya sistemik dan meluas.
“Konsep ini akan relevan dalam perkara korporasi karena kerugian yang ditimbulkan umumnya sistemik dan meluas,” ujarnya.
Selain itu, ia menilai inovasi hukum acara pidana mutlak dilakukan, termasuk penerapan deferred prosecution agreement (DPA) dan restorative justice yang bisa mempercepat penyelesaian perkara ekonomi, memulihkan hak korban, sekaligus tetap memberi efek jera bagi korporasi.
Namun, Kuntadi mengingatkan bahwa keberhasilan reformasi hukum tetap bergantung pada integritas aparat.
“Sebagus apapun aturan, kalau aparatnya tidak kompeten dan tidak berintegritas, hasilnya pasti buruk,” pungkasnya.
Catatan: Aturan mengenai tindak pidana korporasi diatur dalam beberapa peraturan, antara lain Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP, khususnya Pasal 49 yang menetapkan pertanggungjawaban korporasi, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi, Pedoman Jaksa Agung Nomor 24 Tahun 2021, serta Peraturan Jaksa Agung Nomor PER-028/A/JA/10/2014 Tahun 2014.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]