“Pesatnya kemajuan dan lambatnya adaptasi hukum membuat celah bagi pelaku, termasuk korporasi, untuk menyalahgunakan sistem,” kata Kuntadi.
Ia menyebut ada tiga aspek utama dalam modernisasi hukum, yakni aturan yang adaptif, doktrin hukum yang tepat, dan aparat penegak hukum yang kompeten, sebab tanpa sinergi ketiganya penegakan hukum terhadap korporasi sulit mencapai keadilan.
Baca Juga:
Kejagung Sita Aset Rp 35,1 Miliar Milik Eks Pejabat MA Zarof Ricar
Kuntadi juga menyoroti pendekatan pemulihan kerugian negara yang diperluas dalam KUHP baru, di mana pemulihan tidak hanya pada keuntungan pelaku, melainkan kerugian akibat tindak pidana yang sifatnya sistemik dan meluas.
“Konsep ini akan relevan dalam perkara korporasi karena kerugian yang ditimbulkan umumnya sistemik dan meluas,” ujarnya.
Selain itu, ia menilai inovasi hukum acara pidana mutlak dilakukan, termasuk penerapan deferred prosecution agreement (DPA) dan restorative justice yang bisa mempercepat penyelesaian perkara ekonomi, memulihkan hak korban, sekaligus tetap memberi efek jera bagi korporasi.
Baca Juga:
Gadis 14 Tahun Hilang di Bogor Diduga Jadi Korban TPPO, Polisi Amankan Seorang Pria
Namun, Kuntadi mengingatkan bahwa keberhasilan reformasi hukum tetap bergantung pada integritas aparat.
“Sebagus apapun aturan, kalau aparatnya tidak kompeten dan tidak berintegritas, hasilnya pasti buruk,” pungkasnya.
Catatan: Aturan mengenai tindak pidana korporasi diatur dalam beberapa peraturan, antara lain Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP, khususnya Pasal 49 yang menetapkan pertanggungjawaban korporasi, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi, Pedoman Jaksa Agung Nomor 24 Tahun 2021, serta Peraturan Jaksa Agung Nomor PER-028/A/JA/10/2014 Tahun 2014.