WAHANANEWS.CO, Jakarta - Korupsi di Indonesia semakin merajalela, namun ironisnya kinerja aparat penegak hukum justru mengalami penurunan drastis dalam penindakan kasus.
Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis laporan Tren Penindakan Kasus Korupsi tahun 2025, yang menyoroti performa aparat pada tahun 2024 dengan catatan paling rendah dalam lima tahun terakhir.
Baca Juga:
Di duga Anggaran Dana Desa di Kecamatan Bandar Tidak Transparan
Staf Divisi Hukum dan Investigasi ICW, Zararah Azhim mengungkapkan sepanjang tahun 2024 pihaknya menemukan 364 kasus tindak pidana korupsi yang disidik oleh Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Jumlah tersebut menurun hingga 427 kasus atau 54 persen lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya, sementara jumlah tersangka yang berhasil diungkap hanya 888 orang, turun 807 orang atau sekitar 48 persen dibandingkan 2023.
“Estimasi kerugian negara yang berhasil diungkap meningkat mencapai Rp279,9 triliun, angka yang secara signifikan dipengaruhi oleh perkara korupsi Tata Niaga Komoditas Timah di PT Timah Tbk dengan kontribusi sekitar Rp271 triliun atau 96,8 persen dari total kerugian,” kata Zararah dalam rilis ICW, Selasa (30/9/2025).
Baca Juga:
ICW: Penanganan Korupsi Sepanjang Tahun 2024 Turun Drastis, 364 Kasus Tak Disidik
Zararah menyoroti, meski kerugian negara melonjak fantastis, penerapan pasal pemulihan aset hasil Tipikor melalui Pasal 18 UU Tipikor maupun pasal tindak pidana pencucian uang tidak dijadikan instrumen utama dalam pengembalian kerugian.
“Dari 364 kasus yang ditangani hanya terdapat 48 kasus yang ditangani dengan Pasal 18 UU Tipikor dan 5 kasus yang ditangani dengan Pasal pencucian uang,” ungkapnya.
Lebih jauh, distribusi perkara korupsi pada 2024 memperlihatkan kerentanan tinggi pada sektor yang langsung bersentuhan dengan kebutuhan masyarakat.
Dari data ICW, sektor desa menempati urutan tertinggi dengan 77 kasus dan 108 tersangka, disusul sektor utilitas 57 kasus dengan 198 tersangka, kesehatan 39 kasus dengan 104 tersangka, serta pendidikan 25 kasus dengan 64 tersangka.
Dari sisi aktor, mayoritas pelaku berasal dari pegawai pemerintah daerah dengan 261 tersangka, pihak swasta 256 tersangka, serta kepala desa 73 tersangka, dengan catatan bahwa peran swasta menyumbang kerugian negara paling besar.
“Fakta ini menyingkap rapuhnya desain pencegahan korupsi dan mekanisme pengawasan di sektor privat,” ungkap Zararah.
ICW menilai kondisi ini diperburuk dengan minimnya transparansi aparat penegak hukum dalam membuka data perkara ke publik, sehingga masyarakat kehilangan basis untuk mengevaluasi kinerja lembaga hukum dan akuntabilitas pun semakin melemah.
Jumlah kasus dan tersangka yang berhasil diungkap aparat hukum tahun 2024 tercatat paling rendah dalam kurun waktu lima tahun terakhir.
ICW menilai penurunan kinerja tersebut salah satunya akibat minimnya informasi penanganan perkara yang menimbulkan dugaan bahwa banyak satuan kerja Kejaksaan dan Kepolisian tidak melakukan penindakan kasus korupsi.
Berdasarkan data, terdapat enam Kejaksaan Tinggi, 292 Kejaksaan Negeri, 63 Cabang Kejaksaan Negeri, 14 Kepolisian Daerah, dan 445 Kepolisian Resor yang minim informasi sehingga diduga tidak menangani perkara pada 2024.
Selain itu, dari target 200 penindakan perkara korupsi oleh KPK sepanjang tahun 2024, lembaga antirasuah itu hanya mampu menangani 48 perkara, sementara 158 perkara sisanya tidak ditangani.
ICW juga menyoroti adanya kebijakan kontraproduktif yang dikeluarkan Jaksa Agung dan Kapolri dengan menunda penindakan kasus korupsi yang melibatkan peserta Pemilu 2024, padahal sirkulasi elite politik justru memiliki potensi korupsi sangat besar.
“Penindakan terhadap peserta pemilu seharusnya justru bisa menjadi filter agar masyarakat tidak disuguhkan oleh calon-calon pemimpin yang kotor dan diduga terlibat korupsi,” tegas Zararah.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]