Tono justru menyuruh Manuel dan Chris untuk meminta senjata pada Fretilin, kelompok pro kemerdekaan Timor Leste. Padahal, Chris dan ayahnya hanya kelompok sipil dan tak bersenjata.
"Dari situ kami ke polisi, jawaban mereka juga sama, diam. Jadi selang waktu dari rumah Danrem Tono Suratman ke polisi untuk meminta bantuan perlindungan, itu mungkin sekitar setengah jam. Setelah itu ya yang kami dengar hanya tembakan," tambah Chris.
Baca Juga:
Kasum TNI Hadiri Upacara Penetapan Komcad Matra Darat Unhan RI TA. 2024
Chris mendengar suara tembakan beruntun itu di rumah Uskup Carlos Filipe Belo, berjarak tak sampai sekilo dari rumahnya. Tak ada yang bisa ia lakukan bahkan sampai tiga hari setelahnya.
Ia mengetahui jumlah korban meninggal, luka parah, dan selamat justru dari wartawan asing yang berada di lokasi saat kejadian. Menurutnya, 45 orang yang selamat kebanyakan perempuan dan anak-anak yang usianya paling tua 12 tahun.
Namun, adik kandungnya tewas. Ia harus ke rumah sakit militer di Lahane, Dili, dan menemukan jasad adiknya dengan kondisi mengenaskan.
Baca Juga:
Prabowo Pastikan 500 Komcad Baru Siap Amankan IKN
"Di situ saya berkesempatan, karena harus ke kamar mayat, itu kamar mayat penuh dengan mayat-mayat yang kondisinya sudah dimutilasi, dan itu menumpuk setinggi pinggang saya. Tubuh adik saya ini kondisinya tidak beda dengan mayat-mayat yang lain," ujar Chris.
Hingga kini, Chris masih trauma dan geram tiap kali mengingat tragedi tersebut. Ia merasa diabaikan oleh pihak pemerintah Indonesia dan pihak keamanan.
"Ini semua hanya karena ada hasutan, kampanye kebencian yang jelas-jelas dilakukan di depan semua aparat keamanan, aparat pemerintah, dan seolah-olah tidak ada yang mendengarkan," tambah Chris masih terbata-bata.