Senada, ahli dari Departemen Sosiologi dan Kepala Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian UGM Muhammad Najib Azca menyatakan bahwa tugas Komcad menghadapi ancaman militer dan non-militer tidak tepat.
Hal ini merujuk pada Pasal 15 ayat (3) UU PSDN memang mencantumkan bahwa komponen cadangan dapat mengabdi untuk menghadapi ancaman militer dan hibrida.
Baca Juga:
Kasum TNI Hadiri Upacara Penetapan Komcad Matra Darat Unhan RI TA. 2024
Jika merujuk laman resmi Kemenhan, ancaman hibrida merupakan ancaman yang bersifat campuran atau perpaduan yang di dalamnya terdapat ancaman militer dan non-militer seperti ancaman konvensional, asimetrik, dan cyberware, keterpaduan serangan antara persenjataan kimia, biologi, politik, sosial budaya, keselamatan umum, teknologi, dan informasi.
Menurut Najib, kebijakan dalam UU PSDN itu bertentangan dengan Pasal 7 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Sebab, merujuk pasal 7 UU pertahanan negara, komponen utama dalam menghadapi ancaman selain ancaman militer adalah lembaga di luar bidang pertahanan.
"Dengan mengikuti kerangka tersebut, bisa dikatakan bahwa langkah dan kebijakan pembentukan Komcad untuk menghadapi ancaman non-militer menyalahi konstruksi politik konstitusional di negara demokratis yang melihat dan menempatkan kehadiran militer sebagai alat perang," kata dia.
Baca Juga:
Prabowo Pastikan 500 Komcad Baru Siap Amankan IKN
Sebagai informasi, uji materi UU PSDN diajukan oleh empat lembaga swadaya masyarakat (LSM), yakni, Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL), Perkumpulan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Yayasan Kebajikan Publik Indonesia, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia; dan tiga warga.
Para Pemohon mengujikan Pasal 4 ayat (2) dan (3), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 20 ayat (1) huruf a, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 46, Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 75, Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, Pasal 81 dan Pasal 82 UU PSDN. [bay]