WAHANANEWS.CO, Jakarta - Komisi Yudisial (KY) mengajukan permintaan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mempertimbangkan kembali penolakan terhadap seluruh calon hakim agung dan hakim ad hoc HAM yang mereka usulkan.
Hal ini disampaikan KY melalui surat klarifikasi yang dikirimkan ke pimpinan DPR pada Jumat, 6 September 2024.
Baca Juga:
Dalami Dugaan Suap Kasasi Ronald Tannur, KY Koordinasi dengan Kejagung
Dalam surat tersebut, KY menjelaskan bahwa 12 calon hakim agung yang mereka ajukan telah melalui proses seleksi ketat sesuai peraturan perundang-undangan dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), serta mempertimbangkan kebutuhan Mahkamah Agung (MA).
Sebelumnya, Komisi III DPR menolak 12 calon hakim agung karena dua di antaranya dinilai tidak memenuhi persyaratan administrasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) MA, yang mengharuskan calon hakim agung memiliki pengalaman minimal 20 tahun sebagai hakim.
Pangeran Khairul Saleh, Wakil Ketua Komisi III DPR, mengungkapkan bahwa dua calon tersebut hanya memiliki pengalaman sebagai hakim selama 8 dan 14 tahun.
Baca Juga:
Praktisi Hukum Asal Nias Apresiasi KY Pecat Tiga Hakim yang Vonis Bebas Ronald Tannur
Habiburokhman, Wakil Ketua Komisi III DPR, menilai adanya kecacatan dalam proses seleksi yang dilakukan KY karena dua calon yang tidak memenuhi syarat tetap diloloskan melalui diskresi.
Menurutnya, penggunaan diskresi tersebut melanggar ketentuan hukum yang berlaku.
Anggota Komisi III, Benny K Harman, menambahkan bahwa tidak seharusnya KY mengesampingkan syarat yang telah ditetapkan oleh UU.
Oleh karena itu, ia menyarankan agar 12 calon hakim tersebut dikembalikan ke KY untuk dilakukan klarifikasi lebih lanjut.
Rapat di Komisi III DPR pada 27 Agustus 2024 sepakat untuk menunda tahap uji kelayakan dan kepatutan serta mengembalikan semua calon hakim ke KY.
Sehari kemudian, sembilan fraksi dalam rapat Komisi III DPR memutuskan untuk menolak seluruh calon hakim agung yang diajukan oleh KY karena dianggap melanggar UU MA dalam proses seleksi.
Anggota Komisi III, Muhammad Nasir Djamil, juga menyerukan agar DPR memberikan peringatan keras kepada KY terkait dugaan pelanggaran undang-undang dalam proses tersebut.
Diskresi untuk Hakim Pajak
Wakil Ketua Komisi Yudisial (KY), Siti Nurdjanah, membantah adanya pelanggaran dalam proses seleksi calon hakim agung dan hakim ad hoc HAM yang diajukan ke DPR.
KY mengirimkan surat klarifikasi pada Jumat, 6 September 2024, menjelaskan bahwa selain mengikuti peraturan perundang-undangan, mereka juga mempertimbangkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
"Langkah ini diambil untuk memperbaiki komunikasi dengan DPR dan meluruskan kesalahpahaman bahwa seleksi calon hakim agung dan hakim ad hoc HAM di MA melanggar undang-undang, khususnya terkait dua calon hakim agung di Kamar Tata Usaha Negara Khusus Pajak yang dianggap tidak memenuhi syarat administrasi karena pengalaman kurang dari 20 tahun," ungkap Siti,melansir Kompas.com, Minggu (8/9/2024).
Anggota KY, Sukma Violetta, menambahkan bahwa keputusan mengenai 12 calon hakim diambil dengan mempertimbangkan banyak faktor, termasuk Putusan MK Nomor 53/PUU-XVI/2016.
Putusan tersebut mengubah aturan pengalaman calon hakim agung yang sebelumnya harus memiliki pengalaman tiga tahun sebagai hakim tinggi, menjadi hanya pernah diangkat sebagai hakim tinggi.
"Selama mereka pernah diangkat sebagai hakim tinggi, mereka sudah memenuhi syarat untuk menjadi calon hakim agung," ujar Sukma.
Anggota KY lainnya, Binziad Kadafi, menjelaskan bahwa diskresi yang diterapkan untuk dua calon hakim di Kamar TUN Khusus Pajak didasarkan pada situasi faktual.
Saat ini, tidak ada hakim pajak yang memiliki pengalaman selama 20 tahun karena pengadilan pajak baru dibentuk pada April 2002.
"Diperkirakan hingga tujuh tahun ke depan, tidak ada hakim Pengadilan Pajak yang memenuhi persyaratan pengalaman 20 tahun sebagai hakim," kata Binziad.
Ia juga menambahkan bahwa Putusan MK Nomor 6/PUU-XIV/2016 menegaskan bahwa status hakim pajak setara dengan hakim pengadilan tinggi.
Putusan MK
Binziad menambahkan bahwa KY juga telah mempertimbangkan perbedaan persyaratan usia untuk calon hakim pajak dibandingkan dengan calon hakim lainnya.
Menurutnya, usia minimum calon hakim pajak adalah 45 tahun, yang setara dengan syarat untuk menjadi calon hakim agung. Ini menunjukkan adanya pembinaan khusus bagi para hakim pengadilan pajak.
"Keputusan ini diperkuat oleh Putusan MK Nomor 26/PUU-XXI/2023 yang dikeluarkan tahun lalu, yang menegaskan bahwa pembinaan pengadilan pajak, termasuk para hakimnya, sepenuhnya di bawah wewenang Mahkamah Agung (MA)," jelas Binziad.
Dengan berbagai pertimbangan tersebut, KY mengambil keputusan tidak hanya berdasarkan peraturan perundang-undangan tetapi juga memperhatikan putusan-putusan MK yang relevan.
Siti Nurdjanah, bersama jajaran pimpinan KY, berharap agar seluruh penjelasan yang telah disampaikan dapat menjadi pertimbangan bagi DPR RI untuk melanjutkan proses seleksi dan mengangkat hakim agung serta hakim ad hoc HAM yang telah diusulkan.
"KY akan terus berkoordinasi dengan DPR RI, agar informasi tambahan yang disampaikan melalui surat yang kami kirimkan pagi ini bisa menjadi bahan pertimbangan, sehingga calon yang diusulkan oleh KY dapat disetujui untuk diangkat menjadi hakim agung," tutup Siti.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]