WahanaNews.co | Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut bahwa imbas dari
korupsi proyek Pengadaan Citra Satelit Resolusi Tinggi (CSRT), salah satunya, bisa mengakibatkan bencana alam.
Dalam kasus suap proyek CSRT pada
Badan Informasi dan Geospasial (BIG) dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa
Nasional (LAPAN) Tahun Anggaran 2015, KPK telah menetapkan tersangka
baru.
Baca Juga:
Dana CSR BI Jadi Bancakan, KPK Siap Tetapkan Tersangka dari Komisi XI DPR
Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, mengungkapkan bahwa pengadaan citra satelit sangat penting di
sebuah negara untuk kepentingan tata ruang dan lingkungan di Indonesia.
"Foto citra satelit resolusi
tinggi bisa menjadi dasar untuk penerbitan izin dan penegakan hukum terkait
dengan pelanggaran tata ruang wilayah," ucap Alex, di Gedung
Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (25/1/2021).
Alex menyebut, sudah
sepatutnya pengadaan CSRT dilakukan dengan penuh integritas dan sesuai dengan
aturan yang berlaku.
Baca Juga:
KPK Periksa 7 Saksi Dalami Dugaan Pemerasan untuk Serangan Fajar Pilgub Bengkulu
"Salah satu dampak pelanggaran
tata ruang wilayah adalah bencana alam, seperti yang saat ini terjadi di
mana-mana. Lahan yang seharusnya menjadi tangkapan air malah rusak akibat
pertambangan dan permukiman," ujar Alex.
Alex menuturkan, pengadaan CSRT sebetulnya sangat diperlukan di Indonesia, karena bisa mendeteksi bila terjadi bencana alam.
"Foto citra satelit yang
beresolusi tinggi bisa digunakan sebagai dasar perencanaan tata ruang wilayah,
termasuk pertambangan dan permukiman bisa lebih mempertimbangkan kondisi
lingkungan, sehingga meminimalisir bencana alam," ungkap Alex.
Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan
Komisaris Utama PT Ametis Indegeo Prakarsa (AIP), Lissa Rukmi Utari (LRS), sebagai tersangka baru.
Lissa dijerat KPK berdasarkan hasil
dari pengembangan dari tersangka sebelumnya, yakni eks
Kepala Badan Informasi Geospasial, Priyadi Kardono; dan bekas Kepala Pusat
Pemanfaatan Teknologi Dirgantara (Kapusfatekgan) pada Lembaga Penerbangan dan
Antariksa Nasional (LAPAN), Muchamad Muclis.
Alex pun menjelaskan kontruksi perkara
hingga Lissa ditetapkan tersangka.
Kasus ini berawal pada 2015, saat proyek tersebut berjalan. Di mana dua tersangka, Priyadi dan Muchlis, melakukan pertemuan terhadap Lissa. Perusahaan Lissa kemudian menjadi pemenang tender
dalam pengerjaan proyek CSRT dengan total anggaran sebesar Rp 187 miliar.
"Pertemuan di antaranya bersepakat
merekayasa penyusunan berbagai dokumen KAK (Kerangka Acuan Kerja) sebagai dasar
pelaksanaan CSRT dengan "mengunci"
spesifikasi dari peralatan CSRT itu," ungkap Alex.
Dalam kasus korupsi ini, para
tersangka dianggap merugikan keuangan negara sebesar Rp 179,1 milar.
Lissa disangkakan melanggar Pasal 2
ayat (1) atau Pasal 3 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah
diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. [dhn]