WahanaNews.co | Boyamin Saiman, Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI), mengkritisi tindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang salah menetapkan pejabat dari Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) yang memiliki latar belakang militer sebagai tersangka. Menurutnya, hal ini harus dihadapi dengan sanksi dari Dewan Pengawas (Dewas).
Menurut pandangan Boyamin, langkah KPK yang mengumumkan seseorang sebagai tersangka tanpa prosedur yang sah jelas merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).
Baca Juga:
Didominasi Penegak Hukum, MAKI: Pimpinan Baru KPK Tak Mewakili Masyarakat dan Perempuan
"KPK tidak bisa hanya meminta maaf karena tindakan tersebut telah melanggar HAM, yaitu penetapan dan pengumuman tersangka tanpa prosedur yang sah. Pimpinan KPK juga harus dikenai sanksi pelanggaran kode etik," ungkap Boyamin Saiman, mengutip Kompas, Sabtu (29/7/2023).
Meskipun demikian, MAKI menilai bahwa pernyataan dari Lembaga Antikorupsi yang mengakui kesalahan dalam proses hukum terhadap anggota militer adalah langkah yang tepat.
Hal ini dikarenakan jika KPK berhadapan dengan gugatan praperadilan dari anggota militer yang ditetapkan sebagai tersangka, KPK berisiko mengalami kekalahan.
Baca Juga:
Setyo Budiyanto Terpilih sebagai Ketua KPK: OTT Tetap Senjata Utama
"Ya, apapun itu, lebih baik mengakui kesalahan dan meminta maaf daripada menghadapi risiko kalah dalam gugatan praperadilan," ujar Boyamin.
Koordinator MAKI ini pun berpandangan, tindakan KPK yang menyalahi prosedur penetapan tersangka tidak bisa selesai hanya dengan permintaan maaf.
Boyamin menuntut agar Dewan Pengawas (Dewas) KPK mengambil tindakan terhadap pimpinan Komisi Antirasuah yang dianggap lalai dalam proses hukum tersebut.
"Namun, kesalahan yang dilakukan sangat serius dan tidak dapat dimaafkan karena ini menyangkut proses hukum. Seluruh pimpinan harus dikenai sanksi berat oleh Dewas KPK," ungkap Boyamin.
Sebelumnya, KPK telah meminta maaf kepada Panglima TNI Laksamana Yudo Margono karena telah menangkap tangan dan menetapkan tersangka dari pejabat Basarnas yang berasal dari lingkungan militer.
Kepala Basarnas, Marsekal Madya TNI Henri Alfiandi, sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka setelah tim KPK menangkap bawahannya, Letkol (Adm) TNI Afri Budi Cahyanto.
Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, menyatakan bahwa pihaknya seharusnya mengalihkan penanganan dugaan korupsi yang melibatkan Henri dan Afri kepada Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI.
Tanak menyampaikan pernyataan ini setelah melakukan audiensi dengan beberapa petinggi militer, termasuk Komandan Puspom (Danpuspom) TNI, Marsekal Muda R Agung Handoko.
"Dalam rapat tadi, kami sudah menyampaikan kepada teman-teman TNI agar pesan ini dapat disampaikan kepada panglima TNI dan jajaran TNI bahwa kami memohon maaf atas kesalahan ini," kata Tanak dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, pada Jumat (28/7/2023).
Tanak menjelaskan bahwa saat tim KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) pada Selasa (25/7/2023), mereka memahami bahwa Afri merupakan seorang prajurit TNI. Namun, karena kesalahan dan kelupaan, Afri tetap ditangkap dan diproses hukum oleh KPK sebagai tersangka.
"Kami memahami bahwa tim penyelidik kami mungkin melakukan kesalahan dan kelupaan bahwa jika melibatkan TNI, seharusnya diserahkan kepada TNI untuk ditangani, bukan oleh KPK," jelas Tanak.
KPK menetapkan Marsekal Madya Henri Alfiandi, Kepala Basarnas, dan orang kepercayaannya, Afri Budi Cahyanto, sebagai tersangka.
Afri adalah Koordinator Administrasi (Koorsmin) di Basarnas dan juga seorang prajurit TNI Angkatan Udara (AU) dengan pangkat Letkol Adm.
Mereka diduga menerima suap hingga total Rp 88,3 miliar sejak 2021 hingga 2023 dari berbagai pihak. KPK juga menetapkan tiga pihak swasta sebagai tersangka.
Sebagian dari dugaan penyuap ini adalah Komisaris Utama PT Multi Grafika Cipta Sejati, Mulsunadi Gunawan, Direktur Utama PT Intertekno Grafika Sejati, Marilya, dan Direktur Utama PT Kindah Abadi Utama, Roni Aidil.
Mereka memberikan uang sekitar Rp 5 miliar kepada Henri melalui Afri karena mereka dianggap sebagai pemenang lelang pengadaan peralatan di Basarnas.
Dugaan korupsi di Basarnas ini diungkap oleh KPK melalui operasi tangkap tangan (OTT) pada Selasa (25/7/2023).
Sementara itu, Henri menyatakan siap bertanggung jawab atas kebijakannya sebagai Kepala Basarnas. Ia mengaku uang yang diterima melalui Afri bukan untuk kebutuhan pribadi melainkan kantor.
Dalam konferensi pers di Mabes TNI Cilangkap, pihak TNI menilai KPK tidak melakukan penetapan hukum Henri dan Afri tidak sesuai prosedur. [eta]