WAHANANEWS.CO, Jakarta - Tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa mantan Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Khusus, Muhammad Haniv (MH), pada Jumat (7/3/2025).
Pemeriksaan ini berkaitan dengan dugaan penerimaan suap dan gratifikasi di lingkungan DJP Kementerian Keuangan.
Baca Juga:
Ada Transaksi Misterius Pupuk Indonesia Hampir Rp8 Triliun, KPK Diminta Bergerak Cepat
"Hari ini, Jumat, KPK mengagendakan pemeriksaan terkait dugaan tindak pidana korupsi gratifikasi di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan," ujar juru bicara KPK, Tessa Mahardhika, dalam keterangannya kepada wartawan di Jakarta, Jumat (7/3/2025).
Pemeriksaan dijadwalkan berlangsung di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan. Namun, Tessa belum memberikan kepastian mengenai kehadiran Haniv serta materi pemeriksaan yang akan didalami.
"Pemeriksaan ini dilakukan terhadap MH, yang pernah menjabat sebagai Kepala Kanwil DJP Banten dari 2011 hingga 2015 serta Kepala Kanwil DJP Jakarta Khusus dari 2015 hingga 2018," tambah Tessa.
Baca Juga:
Terkait Kasus CSR BI, KPK Segera Panggil Anggota DPR Heri Gunawan
KPK saat ini tengah menelusuri aliran dana gratifikasi yang diduga diterima Haniv, bahkan setelah ia tidak lagi menjabat. Berdasarkan penyelidikan, Haniv diketahui menerima gratifikasi dan suap dalam rentang waktu 2013 hingga 2022, meskipun dirinya telah pensiun dari DJP sejak 2019.
"Meskipun dia sudah berhenti sebagai pegawai pajak sejak 2019, masih ditemukan adanya aliran dana yang terus berlanjut. Penyidik masih mendalami hal ini, dan hasil pemeriksaan lebih lanjut akan mengungkapkan gambaran yang lebih jelas," ujar Ketua KPK, Setyo Budiyanto, di Gedung ACLC KPK, Jakarta Selatan, Rabu (5/3/2025).
Penyelidikan ini turut melibatkan pemeriksaan terhadap sejumlah saksi, termasuk Direktur KSO Summarecon Serpong, Sharif Benyamin, yang diperiksa terkait dugaan aliran dana gratifikasi kepada Haniv.
"Saksi pertama, Sharif Benyamin, hadir dan diperiksa terkait aliran dana kepada tersangka Haniv," ujar Tessa dalam keterangannya, Rabu (5/3/2025).
Selain itu, penyidik juga memeriksa PNS KPP PMA 6 Ditjen Pajak, Shitta Amalia, terkait dugaan keterlibatan dalam permintaan dana untuk acara fashion show anak Haniv, Feby Paramita Haniv, yang berprofesi sebagai desainer.
"Saksi kedua, Shitta Amalia, juga hadir dan dimintai keterangan mengenai kebijakan permintaan dana untuk fashion show," tambah Tessa.
Pemeriksaan terhadap Sharif dan Shitta dilakukan pada Selasa (4/3/2025), sementara Direktur PT Prima Konsultan Indonesia tidak memenuhi panggilan penyidik. KPK telah menetapkan Muhammad Haniv sebagai tersangka dalam kasus dugaan penerimaan gratifikasi sebesar Rp21,5 miliar sejak Rabu (12/2/2025).
"Pada 12 Februari 2025, KPK menetapkan HNV sebagai tersangka atas dugaan tindak pidana korupsi berupa penerimaan gratifikasi oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak," ujar Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (25/2/2025).
Asep menjelaskan bahwa gratifikasi tersebut diduga diterima Haniv selama periode 2015-2018, saat ia masih menjabat sebagai Kepala Kanwil DJP Jakarta Khusus.
Haniv diduga menggunakan jabatan serta jejaringnya untuk mencari sponsor guna mendukung bisnis anaknya. Ia disebut mengirimkan surel permintaan bantuan modal kepada sejumlah pengusaha yang merupakan wajib pajak.
Penyidik menduga Haniv menerima gratifikasi sebesar Rp804 juta untuk membiayai bisnis fashion show anaknya. Selain itu, selama masa jabatannya, ia juga diduga menerima uang senilai belasan miliar rupiah yang asal-usulnya tidak jelas.
"HNV diduga menerima gratifikasi dalam berbagai bentuk, antara lain Rp804 juta untuk fashion show, valuta asing senilai Rp6,66 miliar, serta deposito di BPR sebesar Rp14,08 miliar. Sehingga total gratifikasi yang diterima mencapai Rp21,5 miliar," ungkap Asep.
Atas perbuatannya, Haniv dijerat dengan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]