WahanaNews.co, Jakarta - Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) telah menyampaikan laporan pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan penggunaan dana dari pertambangan nikel ilegal di Sulawesi Tenggara untuk keperluan kampanye dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, Kamis (21/12/2023).
Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, menyampaikan bahwa pemilik dari pertambangan ilegal tersebut merupakan bagian dari tim sukses salah satu kandidat.
Baca Juga:
Sahroni Desak Polisi Usut Temuan PPATK Dugaan Aktivitas Keuangan Ilegal Ivan Sugianto
"Saya hari ini melaporkan dugaan penambangan ilegal yang diduga untuk dana kampanye, sebagiannya, karena pemilik utamanya menjadi salah satu tim kampanye," kata Boyamin di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (21/12/2023).
"Saya mohon maaf tidak menyebut kampanye dari pasangan nomor berapa, nanti KPK yang menindaklanjuti," ujarnya, melansir Kompas, Kamis (21/12/2023)..
Menurut perhitungan yang dilakukan oleh MAKI, pendapatan dari pertambangan ilegal tersebut mencapai Rp 3,7 triliun, dan sekitar Rp 400 miliar dari jumlah tersebut digunakan untuk kegiatan kampanye.
Baca Juga:
Skandal Pengusaha Surabaya Terbongkar, PPATK Sita Rekening Ivan Sugianto Usai Intimidasi Siswa SMA
Boyamin juga mengungkapkan bahwa terdapat tiga modus kegiatan dalam pertambangan ilegal yang dilakukan oleh perusahaan tersebut.
Pertama, modus tersebut melibatkan kegiatan pertambangan tanpa izin, karena izin yang digunakan oleh perusahaan tersebut ternyata berasal dari perusahaan lain yang telah dinyatakan pailit.
"Jadi, ini izin 2011, 2014 pailit, tahun 2017 baru berdiri perusahaan ini. Masa kemudian seakan akan dapat izin tahun 2011, itu yang modus pertama," kata Boyamin.
Modus kedua, perusahaan tersebut tidak mengantongi izin dari Kementerian Kehutanan dan tidak membayar iuran.
"Ketiga, ya biasa, dokumen terbang atau dokter. Jadi dia seakan-akan diizinkan itu, kemudian dipakai untuk menjadikan legal tambang-tambang yang ilegal itu. Mencuri lah supaya bisa keluar pakai dokumen dia," ujar Boyamin.
Ia pun menduga ada praktik suap dan gratifikasi kepada oknum tertentu sehingga perusahaan itu bisa melakukan aktivitas tambang ilegal.
Boyamin berharap, KPK dapat menindaklanjuti laporan tersebut dan serius mengusut dugaan dana tambang ilegal yang digunakan untuk keigatan kampanye.
"Coba KPK berprestasi membongkar dana-dana ilegal yang dipakai untuk kampanye untuk melindungi kepentingan bisnis tersebut," kata Boyamin.
"Karena pemilu-pemilu sebelumnya, 2 atau 3 pemilu sebelumnya kan ada isu ini, bahwa ada penggunaan dana kampanye dari kegiatan ilegal tapi itu selalu lagu yang diputar ulang yang tidak ada tindak lanjutnya," imbuh dia.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menegaskan bahwa temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terkait transaksi janggal dana kampanye harus diperiksa.
Mahfud menuturkan, Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang sudah mengatur bahwa setiap laporan PPATK harus diperiksa oleh lembaga penegak hukum yang mendapatkan laporan tersebut.
"Harus diperiksa, karena apa, karena PPATK itu dibentuk dulu oleh undang-undang memang untuk menyelidikai hal-hal yang seperti itu sebagai instrumen hukum kita sehingga itu harus diperiksa," kata Mahfud, Selasa (19/12/2023).
Mahfud mengatakan bahwa laporan tersebut harus diusut lebih lanjut oleh Kejaksaan Agung, Polri, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jika mereka menerima laporan tersebut.
"Itu merupakan kewajiban bagi aparat penegak hukum untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut," katanya.
Mahfud menegaskan bahwa meskipun temuan dari PPATK menyebutkan bahwa transaksi yang mencurigakan terjadi di rekening bendahara partai politik, hal ini tidak berarti bahwa investigasi harus dihentikan.
Menurutnya, aparat penegak hukum tetap harus mengungkap asal muasal dan aliran transaksi yang mencurigakan tersebut.
"Diperlukan pemeriksaan terlebih dahulu, resminya ke bendahara partai politik, kemudian kemana dan bagaimana alur transaksinya, serta dari mana asalnya. Hal ini penting. Jika terkait dengan pencucian uang, ini dapat menjadi suatu kasus yang serius," tambah Mahfud.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]