WahanaNews.co I
Ketua LSM Indonesia Corupption Observer (InaCo), Order
Gultom, SS., mendesak Kejaksaan Agung RI, untuk menuntaskan penyelidikan dugaan
korupsi pengadaan obat antiretroviral (ARV) atau obat penyakit AIDS dan PMS di
Kementerian Kesehatan RI Tahun Anggaran 2016.
Hal itu dikatakannya kepada wahananews.co, senin (7/12) dikantornya
Gedung Graha Sartika Jl. Dewi Sartika, Jakarta Timur.
Baca Juga:
Korupsi APD Kemenkes, KPK Ungkap Satu Tersangka Beli Pabrik Air Minum Kemasan Rp60 Miliar
Dia mengatakan sejak Kejaksaan Agung mengumumkan telah
dimulainya penyelidikan dugaan korupsi pengadaan obat antiretroviral (ARV) atau
obat penyakit UIV/AIDS dan PMS pada bulan mei 2019, sampai sekarang sudah
berjalan 2 tahun belum ada yang ditetapkan menjadi tersangka. Pada hal patut
diduga pengadaan obat tersebut di mark-up besar besaran. "Kejagung sepertinya
berusaha mempetieskan dugaan korupsi pengadaan Obat Aids," ungkapnya.
Baca Juga:
Kemenkes: Dampak Pestisida Sistemik pada Anggur Muscat Bisa Bertahan Meski Dicuci
Pada bulan mei 2019 Direktur Penyidikan Pidana Khusus
Kejaksaan Agung (Dirdik Jampidsus) Asri Agung Putra mengatakan kepada media,
sudah memeriksa sekitar 26 orang saksi kasus dugaan korupsi pengadaan obat
antiretroviral (ARV) atau obat penyakit AIDS dan PMS. Penyidik juga sedang
mendalami siapa yang harus dimintai pertanggungjawaban hukum untuk ditetapkan
sebagai tersangka.
LSM InaCo sebelumnya secara tertulis telah menyurati
Direktur Tata Kelola Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, selaku
Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada tanggal 11 April 2018, perihal adanya dugaan
mark-up pada pengadaan obat antiretroviral (ARV) atau
obat penyakit AIDS dan PMS. Namun dijawab secara tertulis oleh Direktur
Tata Kelola Obat Publik dan Perbekalan Kementerian Kesehatan, bahwa saat itu
pihaknya mengakui telah diperiksa oleh Direktur Penyelidikan Pidana Khusus
Kejaksaan Agung.
"Menanggapi Surat LSM InaCo, jawaban klarifikasi kami yang
ditandatangani Direktur Tata Kelola Obat Publik dan Perbekalan, tidak membantah
dan menyatakan saat itu mereka sedang diperiksa oleh Kejaksaan Agung," kata
Order.
Total pagu anggaran pengadaan obat antiretroviral (ARV) atau
obat penyakit AIDS dan PMS Tahun Anggaran 2016 sebesar Rp. 174.410.750.000,- dibagi
dalam 2 paket, paket I HPS Rp. 89.213.000.000
pemenang PT. Indofarma Global Medika penawaran Rp. 85.197.750.000. Paket
II HPS Rp. 213.000.000.000,- dimenangkan PT. Kimia Farma Tranding & Distribution
penawaran Rp. 211.813.271.076.
Selama 2 tahun penyelidikan belum ada yang ditetapkan
tersangka
LSM Indonesia AIDS Coalition (IAC) lembaga yang beranggotakan
kelompok terdampak AIDS juga mempertanyakan keseriusan Kejaksaan Agung dalam
menangani dugaan korupsi pengadaan obat
antiretroviral (ARV) atau obat penyakit AIDS dan PMS Tahun Anggaran 2016.
"Harga obat AIDS di pasaran International sekitar USD 8 per
botol tapi kemudian pemerintah kita membelinya dengan harga Rp. 400 ribu pada
tahun 2016. Artinya kan ada potensi kerugian negara disitu," kata Aditya
Wardhana, dalam rilisnya, Minggu (01/03/2020). (Kurs rupiah 1 USD Tahun 2016 =
Rp. 14.000)
IAC sendiri membuat perhitungan cost structure analysis
yang menunjukkan bahwa ada potensi kerugian negara sebesar lebih dari Rp. 150
milyar akibat inefisiensi dalam pengadaan obat-obatan HIV dan AIDS di tahun
2016.
Berdasarkan pantauan IAC, saat ini setidaknya ada lebih dari
40 kabupaten kota yang mengalami kesulitan stock obat ARV. Hal ini dikarenakan
proses pengadaan obat ARV untuk pengidap HIV bersumber dari dana APBN mengalami
penundaan yang salah satunya diakibatkan kasus pengadaan obat di tahun 2016
yang bermasalah.
Obat ARV adalah obat bagi terapi yang harus dikonsumsi
pengidap HIV secara rutin guna mencegah perburukan infeksi HIV menjadi AIDS.
Saat ini, ada sekitar 130 ribu orang dengan HIV (ODHA) yang sedang menjalani
pengobatan ARV ini di seluruh Indonesia.
Selama ini, pemerintah Indonesia membeli obat ARV dengan
harga yang sangat mahal. Bisa 400% lebih tinggi dari harga obat yang sama di
pasaran Internasional. Biaya pengadaan obat anti AIDS sendiri sekarang setiap
tahunnya membumbung tinggi mencapai angka 800 milliar rupiah setiap tahunnya.
Ketidaklancaran stok obat anti AIDS ini akan membuat pasien
pengidap HIV kehilangan motivasi untuk berobat dan pada akhirnya memutuskan
untuk menghentikan pengobatannya. Sementara, jika pasien berhenti minum obat,
ada potensi HIV di dalam tubuhnya akan resisten dan membuat obat ARV ini tidak
akan efektif kembali sehingga penularan HIV tidak akan terkendalikan.
Kejagung sendiri telah meningkatkan kasus dugaan korupsi
pengadaan obat HIV/AIDS ke penyidikan setelah mengantongi bukti permulaan yang
cukup guna memperterang perkara dan menetapkan tersangkanya untuk dimintai
pertanggungjawaban hukum.
"Kita jelaskan tentang apa dan bagaimana indikasi
peristiwa korupsi pengadaan obat untuk HIV AIDS," ujar Jaksa Agung H
Muhammad Prasetyo beberapa waktu lalu.
Untuk mengusut kasus ini, Kejagung telah
memanggil sejumlah pihak di antaranya Direktur Utama (Dirut) PT. Kimia Farma
Trading & Distribution, Yayan Heryana; Asisten Manager Prinsipal PT Kimia Farma
Trading & Distribution, Rahmad Rialdi; dan Direktur Supply Chain PT Kimia Farma
(Persero), Djisman Siagian.
Selain itu, Kejagung juga memanggil Direktur Pengembangan PT.
Kimia Farma (Persero), Pujianto; Marketing Manager Obat Generik & Produk
Khusus PT. Kimia Farma (Persero), Eva Fairus; Mantan Dirut PT. Kimia Farma
(Persero) dan Direktur Utama PT. Indofarma Medika Global. Namun sudah 2 tahun
pemeriksaan oleh Kejagung sampai sekarang belum ada yang ditetapkan menjadi
tersangka. (tum)