WAHANANEWS.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita sebuah rumah mewah di Kota Medan, Sumatera Utara, pada Kamis (14/11/2024).
Penyitaan ini terkait dengan kasus dugaan korupsi dalam pengadaan tanah di Rorotan, Cilincing, Jakarta Utara oleh Perumda Pembangunan Sarana Jaya pada periode 2019-2020.
Baca Juga:
33 Prajurit TNI Terlibat Penyerangan di Desa Selamat, Panglima Kodam I Sampaikan Rasa Duka Mendalam
"Kami telah menyita sebuah rumah mewah di Medan atas nama SS dengan luas 90 meter persegi," ujar juru bicara KPK, Tessa Mahardika, kepada wartawan.
Diketahui, SS adalah inisial dari Salomo Sihombing, Wakil Direktur Utama PT Totalindo Eka Persada, yang sebelumnya sudah diperiksa oleh KPK sebagai saksi dalam kasus ini.
Tessa juga mengapresiasi dukungan masyarakat dalam kelancaran proses penyitaan tersebut.
Baca Juga:
Anak-Anak Muda INBI Tingkatkan Kualitas Pendidikan Lewat Program Bimbel Panti
Dalam kasus ini, KPK sebelumnya telah menahan Direktur Utama PT Totalindo Eka Persada, Donald Sihombing, serta empat tersangka lainnya, termasuk mantan Direktur Utama Perumda Pembangunan Sarana Jaya, Yoory C Pinontoan.
Menurut Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur, PT Totalindo Eka Persada merupakan salah satu pihak yang menawarkan tanah kepada Perumda Pembangunan Sarana Jaya, yang memiliki proyek pengadaan tanah di Jakarta untuk bank tanah. Pada 2019, lahan seluas 12,3 hektare di Rorotan dibeli dari PT Totalindo dengan harga Rp371,5 miliar.
Namun, PT Totalindo sebelumnya memperoleh tanah itu dari PT Nusa Kirana Real Estate (NKRE) dengan harga jauh lebih murah, yaitu Rp950 ribu per meter persegi. Transaksi tersebut digunakan sebagai pembayaran utang PT NKRE kepada PT Totalindo dengan total nilai Rp117 miliar.
Akibat penyimpangan tersebut, negara diduga mengalami kerugian sebesar Rp223,8 miliar. Kerugian ini dihitung dari selisih antara pembayaran yang diterima PT Totalindo dari Perumda Pembangunan Sarana Jaya senilai Rp371,5 miliar dan harga pembelian tanah sebenarnya sebesar Rp147,7 miliar, setelah memperhitungkan berbagai biaya.
Asep mengungkapkan adanya indikasi penggelembungan harga (mark-up) dan penyimpangan lainnya. Yoory bahkan mengarahkan untuk tidak menggunakan penilaian independen dari Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP).
Selain itu, kajian internal terkait penawaran dari PT Totalindo juga tidak dilakukan.
KPK juga mengungkapkan bahwa Yoory menerima fasilitas berupa valas senilai Rp3 miliar dari PT Totalindo Eka Persada. Selain itu, aset pribadi Yoory, seperti rumah dan apartemen, dibeli oleh pegawai PT Totalindo dengan dana perusahaan.
Para tersangka didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]