Oleh ALBERT ARIES
Baca Juga:
Mensos Minta Pelaku Kekerasan Seksual di Sekolah Harus Dihukum Berat
ARAHAN Presiden Jokowi yang disampaikan melalui Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, agar penanganan kasus pemerkosaan 12 santriwati oleh Herry Wirawan di Bandung dilakukan dengan tegas, dan meminta agar kondisi korban diperhatikan, membuktikan bahwa negara berupaya hadir untuk memberi perhatian khusus terhadap penanganan kasus kekerasan seksual yang semakin menjadi-jadi.
Terungkapnya beberapa kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan berbasis agama turut mewarnai peringatan Hari HAM Internasional 2021.
Baca Juga:
Petinggi Partai di Kota Bekasi Diduga Lakukan Kekerasan Seksual, Begini Kronologinya
Salah satu kasus kekerasan seksual yang menjadi sorotan masyarakat adalah kasus yang melibatkan Herry Wirawan (36), pimpinan sekaligus guru agama, yang memerkosa belasan santriwati yang berusia 13-16 tahun, hingga hamil dan melahirkan 9 bayi pada tahun 2016-2021.
Desakan sebagian besar masyarakat agar pelaku kekerasan seksual terhadap anak bukan hanya dipidana semaksimal mungkin dan diumumkan identitasnya, melainkan juga dikenakan tindakan kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik, semakin menguat.
Yang menjadi pertanyaan, apakah kebiri kimia cukup efektif untuk memberikan efek jera, dan bagaimana strategi yang tepat untuk menanggulangi kekerasan seksual terhadap anak?
Penjara Seumur Hidup
Dalam perkara pencabulan yang membuat publik geram, jaksa penuntut umum mendakwa Herry Wirawan dengan ”pasal berlapis”, yaitu dakwaan primer dengan menggunakan Pasal 81 Ayat (1) dan (3) Jo Pasal 76D, dan dakwaan subsidernya menggunakan Pasal 81 Ayat (1) dan (3) Jo Pasal 76D UU Perlindungan Anak, yang keduanya juga di-juncto-kan dengan Pasal 65 Ayat (1) KUHP tentang Perbarengan Perbuatan (concursus realis) sehingga ancaman pidananya dapat mencapai 20 tahun penjara.
Meski korbannya lebih dari satu orang, ternyata jaksa penuntut umum tidak mendakwa Herry Wirawan dengan Pasal 81 Ayat (5) UU Perlindungan Anak, yang ketentuannya memungkinkan terdakwa dijatuhi pidana mati, seumur hidup, dan tindakan berupa kebiri kimia, serta pemasangan alat pendeteksi elektronik, untuk mengetahui keberadaan pelaku, setelah menjalani pidana penjara, misalnya 20 tahun.
Terlepas dari pro dan kontra penghapusan hukuman mati, dan adanya model pidana mati dengan ”masa percobaan” selama 10 tahun dalam Rancangan KUHP, publik menanti-nantikan apakah jaksa penuntut umum akan mengajukan tuntutan (requisitoir) di luar dakwaan dengan menggunakan Pasal 81 Ayat (5) UU Perlindungan Anak, yang memungkinkan dikenakannya tindakan kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik?
Berlakunya hukum acara pidana khusus yang mengharuskan pemeriksaan sidang ini berlangsung secara tertutup, sekali-kali tidak boleh menghilangkan peran serta masyarakat untuk tetap mengawal kasus ini.
Sebab, hakim senantiasa wajib menggali rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, dengan harapan jaksa penuntut umum dan majelis hakim melakukan langkah progresif, dan memastikan pelaku mendapat hukuman yang setimpal.
Berbicara soal kebiri kimia, kebiri jenis ini adalah tindakan penyuntikan obat antiandrogen untuk menurunkan kadar hormon testosteron, agar dorongan seksual pelaku dapat berkurang.
Dengan kata lain, kebiri kimia adalah bentuk modern dari kebiri fisik yang sudah dilakukan sejak dahulu kala, misalnya dengan memotong sebagian atau seluruh alat kelamin.
Permasalahannya, kebiri kimia hanya dikenakan untuk jangka waktu paling lama dua tahun setelah melewati serangkaian prosedur medis yang panjang.
Belum lagi, terdapat potensi pelakunya melakukan pengulangan kejahatan seksual dengan ”cara-cara” lainnya, sebagai suatu ”pembalasan” karena depresi hormonal.
Di sisi lain, kabarnya sempat ada penolakan dari dokter dengan alasan kebiri kimia bukan layanan medis.
Selain itu, tindakan kebiri kimia belum teruji efektifitasnya untuk menanggulangi kekerasan seksual dalam waktu dekat.
Ini karena kebiri kimia baru dapat dikenakan setelah terpidana selesai menjalani pidana penjara misalnya 15 tahun sampai 20 tahun kemudian.
Menurut pandangan seorang mantan petinggi kejaksaan, eksekusi dari tindakan kebiri kimia cukup rumit, yaitu setelah melewati serangkaian prosedur, jaksa memerintahkan dokter untuk melakukan pelaksanaan kebiri kimia kepada pelaku.
Sementara itu, masih ada perdebatan di ranah medis sehingga dokter dinilai belum siap.
Untuk itu, mungkin pilihan yang bijak untuk membuat jera pelaku kejahatan seksual terhadap anak yang korbannya lebih dari satu orang saat ini adalah pidana penjara seumur hidup, yang harus dijalani sampai yang bersangkutan meninggal.
Pilihan ini sekiranya dapat mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana, sekaligus menjadi poena proxima morti, yang dianggap paling dekat dengan pidana mati yang sudah banyak dihapuskan di negara-negara lain.
Hal yang tidak kalah penting adalah perlu dipikirkan bagaimana nasib para korban dari kejahatan seksual dapat dipulihkan kondisi fisik dan psikisnya, dengan suatu harapan besar bahwa korban-korban yang sudah pulih tidak akan menjadi seperti pelaku, dan bahkan dapat menjadi agen perubahan di masa depan.
Atas dasar itulah Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) sangat penting untuk segera disahkan menjadi UU karena RUU ini tidak hanya melindungi korban kekerasan langsung, tetapi juga memberikan pendampingan bagi keluarga korban dan saksi yang ingin memberikan kesaksian mereka selama proses hukum.
Kekosongan hukum juga terjadi terkait kasus kekerasan seksual di dunia digital.
Kasus kekerasan seksual yang terjadi di dunia digital dan prostitusi dalam jaringan (online) yang melibatkan anak di bawah umur tidak dapat dijangkau sepenuhnya oleh KUHP dan UU Perlindungan Anak.
Padahal, perlu dipahami masyarakat bahwa melakukan hubungan seksual dengan anak di bawah umur dengan dalih suka sama-suka tetap merupakan kejahatan.
Urgensi Nasional
Dari data harian Kompas tanggal 16 Desember 2021, RUU TPKS yang awalnya berjudul ”RUU Penghapusan Kekerasan Seksual” gagal dimintakan persetujuan menjadi RUU inisiatif DPR di Rapat Paripurna DPR hanya karena alasan teknis sehingga Rapat Paripurna DPR berakhir tanpa adanya agenda persetujuan RUU tersebut menjadi RUU inisiatif DPR.
Padahal, pembicaraan tingkat I di Badan Legislasi (Baleg) DPR telah selesai dan menyetujui RUU itu menjadi RUU inisiatif DPR.
Berdasarkan Pasal 20 Ayat 3 UUD 1945, jika suatu RUU tidak mendapatkan persetujuan bersama, RUU itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR di masa itu (tahun 2021) sehingga RUU TPKS harus diajukan kembali dalam rapat paripurna DPR berikutnya di pertengahan Januari 2022.
Sambil menunggu pengesahan RUU TPKS, Jaksa Agung kiranya dapat membuat pedoman penuntutan terhadap pelaku kekerasan seksual yang korbannya lebih dari satu orang.
Tujuannya untuk memaksimalkan penerapan Pasal 81 Ayat (5) UU Perlindungan Anak, khususnya pidana penjara seumur hidup untuk mencegah pengulangan tindak pidana.
Maraknya kasus kekerasan seksual membutuhkan aturan dan penegakan hukum yang komprehensif dan holistik, sebagaimana adagium: hukum memberi tidak lebih dari yang kita butuhkan, the law gives no more than is needed.
RUU TPKS harus dipandang sebagai suatu urgensi nasional, demi Indonesia yang lebih baik. (Albert Aries, Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Trisakti; Anggota Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia)-yhr
Artikel ini telah tayang di Kompas.id dengan judul “Melawan Kekerasan Seksual dengan Bijak”. Klik untuk baca: Melawan Kekerasan Seksual dengan Bijak - Kompas.id.