Oleh ARI JUNAEDI
Baca Juga:
Ini Sekolah Rakyat akan Dibuka di Sumut Tahun 2025
Tanpa emosi,
kita menjadi sekadar penonton dan bukan partisipan dalam hidup kita sendiri (Sally Planalp)
Baca Juga:
Menteri PU Tegaskan Komitmen Dukung Infrastruktur Sekolah Rakyat
DI masa pandemi Covid-19 yang tidak pernah tahu sampai kapan
selesainya ini, kita kerap disuguhi warta duka mengenai kematian yang terus
terjadi.
Bocah-bocah
yang menjadi yatim piatu karena ditinggal wafat orangtuanya, warga yang tidak
tertolong mendapat tindakan medis walau sudah berada di halaman rumah sakit
yang sesak, warga yang isolasi mandiri di rumah yang kehabisan oksigen dan
bahan makanan, pedagang kaki lima yang berhenti usahanya karena Pemberlakuan
Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dan sederet kisah lara lainnya.
Untuk
mengatasi dampak sosial yang terjadi di masyarakat, pemerintah mengucurkan
berbagai bantuan tunai dan non tunai.
Entah sembako,
obat-obatan dan vitamin, uang tunai, subsidi pendapatan bagi golongan bawah,
subsidi langganan listrik dan lain-lain.
Jika
skema bantuan ini tepat sasaran, maka penerima akan mendapat bantuan yang tepat
guna.
Kementerian
Sosial telah menyiapkan dana Rp 7,08 triliun untuk 5,9 juta keluarga penerima
manfaat (KPM).
Jumlah
penerima manfaat itu berasal dari data-data yang dikumpulkan seluruh pemerintah
daerah.
Selama
bulan Juli sampai Desember 2021, setiap KPM mendapat Rp 200 ribu saban
bulannya.
Selain bantuan
tunai, bantuan beras juga digelontorkan sebanyak 2.010 ton beras selama PPKM
Darurat untuk para pekerja sektor informal se-Jawa Bali sebanyak 5 kilogram per
KPM.
Dengan
demikian, pengemudi ojek, buruh harian dan buruh lepas, pedagang kaki lima,
pemilik warung makan bisa mendapat bantuan dengan pola ini.
Mengingat
begitu besarnya dana yang dikelola kementerian sosial serta pentingnya program
sosial bagi rakyat yang terdampak, maka sangat wajar jika proses penyaluran
bantuan mendapat perhatian yang cukup intens dan mendapat pengawalan hingga
diterima utuh oleh para penerimanya.
Marah-marah Risma
Aksi
marah-marah yang dilakukan Menteri Sosial Tri Rismaharini di berbagai
kesempatan, kerap disorot oleh berbagai kalangan dengan beragam tanggapan.
Ketidakberesan
penyaluran bantuan sosial sebetulnya "penyakit lama" tetapi dijadikan "framing"
oleh Mantan Walikota Surabaya itu.
Dalam
berbagai survei yang diadakan sejumlah lembaga seperti LSI, Charta Politica,
Nusakom Pratama dan Akar Rumput Strategic Consulting sebelum pandemi Covid
gelombang dua terjadi --tepatnya di Januari-Mei 2021-- Tri Rismaharini bersama Ketua DPR Puan Maharani, Gubernur
Jawa Timur Khofifah Sri Indar Parawansa, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastusti selalu masuk dalam "top
5" tokoh perempuan yang diperhitungkan dalam bursa calon presiden dan wakil
presiden.
Dengan
konsisten, empat lembaga survei ini menempatkan Tri Rismaharini sebagai
pemuncak survei diantara tokoh perempuan lain, mengungguli elektabiltas dan
popularitas Puan Maharani, Sri Mulyani, Susi Pudjiastuti.
Wajar
jika pihak yang selalu mengaitkan "aksi marah-marah" Tri Rismaharini dengan
mencari "panggung" politik menuju suksesi 2024.
Sebaliknya,
pihak lain yang mengenal dekat dan paham dengan karakter Ketua DPP PDI
Perjuangan Bidang Kebudayaan itu beranggapan kalau memang itulah model kerja
Tri Rismaharini.
Saat
memimpin Surabaya dua periode, Tri Risma begitu lekat dengan gaya kepemimpinan
yang "meledak-ledak".
Peraih
322 aneka penghargaan dari berbagai institusi nasional dan internasional itu
sangat kesal dan mudah marah jika menemukan ketidakberesan.
Emosinya
begitu memuncak dan jengkel jika menemukan adanya penyimpangan yang dilakukan
anak buahnya.
Sifat
mudah marahnya tidak ada hubungannya dengan elektabilitas dan popularitas,
alih-alih dengan bursa capres dan cawapres 2024.
Di luar
kedinasan, komunikasi ibu dua anak itu sangat cair dan mudah akrab dengan siapa
saja.
Saat
meninjau kesiapan dapur umum yang dikelola kementerian sosial di Balai
Rehabilitasi Penyandang Disabilitas Wyata Guna, Bandung, Jawa Barat (Kompas.com, 13/07/2021), Tri Rismaharini
marah besar karena anak buahnya dianggap sangat lamban dalam penyiapan bahan
makanan untuk warga yang terdampak Covid.
Belum
lagi dengan temuannya yang lain, Risma masih melihat ada pegawai balai yang
asyik mengerjakan pekerjaan lain di ruang berpendingin udara.
Risma
bahkan mengancam pegawainya dimutasi ke Papua.
Ia juga
sewot karena mendapat sambutan dengan organ tunggal mengingat suasana pandemi
sangat tidak cocok dengan formalitas sambutan di acara tersebut.
Di
Tuban, Jawa Timur, aksi "marah-marah" masih berlanjut ketika Bu Menteri
menemukan kejanggalan dalam penyaluran Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).
Para
penerima harusnya mendapat dana bantuan untuk tiga bulan sekaligus, tetapi yang
diterima hanya dua bulan saja.
Risma
meminta hak yang seharusnya diterima warga jangan ditahan karena potensi
penyalahgunaanya sangat besar.
Dalam
hitung-hitungannya, jika dana Rp 200 ribu dikalikan dengan jumlah penerima
sebanyak 80 ribu jiwa, maka jika diendapkan dalam beberapa waktu tentu akan ada
penambahan dana berupa bunga bank (Kompas.tv,
25 Juli 2021).
Terbaru,
Tri Risma masih "ngamuk" lagi saat menemukan pratik pungutan liar (pungli) yang
dialami sejumlah penerima bansos di Tangerang, Banten.
Salah
satu warga mengadukan adanya pemotongan dana yang dikenal dengan istilah "uang
kresek".
Besarannya
Rp 50 ribu yang dikutip dari besaran nominal Rp 600 ribu.
Warga
lain juga merasa besaran BPNT senilai Rp 200 ribu jika diperiksa ulang,
ternyata nilanya barangnya hanya maksimal seharga Rp 177 ribu.
Masih
dalam kalkulasi Risma, jika ada selisih Rp 23 ribu dikalikan dengan 18,8
juta penerima BPNT maka jelas terjadinya praktik korupsi yang besar.
Merubah Mindset Priyayi
Sebagai
menteri pengganti setelah sebelumnya Juliari Peter Batubara dicokok Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) karena kongkalingkong pengadaan paket bansos Covid
dengan gratifikasi senilai Rp 32,4 miliar, Risma ingin membawa perubahan mindset bawahannya.
Dari
mental priyayi yang ingin dilayani menjadi tipe pekerja keras.
Tugas
pokok Kementerian Sosial sendiri berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun
2015 adalah menyelenggarakan urusan dibidang rehabilitasi sosial, pemberdayaan
sosial, perlindungan sosial dan penanganan fakir miskin.
Risma
mengerahkan segala daya, termasuk aksi "marah-marahnya" dalam memastikan
jajaran kementeriannya untuk bekerja sebagaimana mestinya.
Tentu
Risma tidak ingin mengecewakan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati
Soekarnoputeri yang telah memberi rekomendasi kepada Presiden Joko Widodo dalam
memilih penganti Juliari Peter Batubara.
Sosok
Megawati Soekarnoputeri sendiri begitu besar dalam perjalanan karir Tri Risma,
terhitung sejak mencalonkan awal sebagai Walikota Surabaya.
Megawati
begitu bangga dengan sentuhan Tri Risma untuk Surabaya yang mentransformasikan
ibukota Jawa Timur tersebut dari kota kumuh menjadi kota yang memanusiawikan
penduduknya.
Semasa
Abdurahman Wahid menjabat presiden, institusi Departemen Sosial pernah
dibubarkan dengan alasan menjadi sarang korupsi.
Mental
korupsi yang terjadi di Departemen Sosial diibaratkan Gus Dur seperti tikus
yang menguasai lumbung (Kompas.com,
07/12/2020).
Gaya Kepemimpinan Emosional
Tipikal
kepemimpinan Risma sebangun dengan Basuki Purnama alias Ahok saat memimpin
Kabupaten Belitung Timur dan selaku Gubernur DKI Jakarta.
Jika
dirunut ke belakang, pola "marah-marah" kepala daerah juga pernah ada saat DKI
Jakarta dipimpin Ali Sadikin atau Piet Alexander Tallo di Nusa Tenggara Timur.
Jika
Bang Ali begitu keras menegakkan aturan tanpa kompromi di Jakarta, Piet
Alexander Tallo juga benci dengan kemalasan warganya.
Tallo
bahkan pernah menyumpal mulut seorang warga dengan tanah yang ketahuan malas
dan tidur-tiduran di waktu siang.
Sedangkan
Ahok, berhasil mengubah mental pegawai di Pemkab Belitung Timur yang terbiasa
dengan masuk kerja di waktu siang dan menghabiskan jam kantor di warung kopi.
Semasa
menjadi Gubernur Jakarta, Ahok juga kerap memaki-maki bawahannya jika ketahuan
melakukan kesalahan.
Ahok
melakukan aksi marah-marah karena pegawai Pemrov DKI begitu lama dalam kondisi
nyaman tanpa ada penegakkan disiplin atas kesalahan yang dilakukan.
Gaya
kepemimpinan dengan emosi terkadang dianggap efektif untuk mengubah pola kerja
yang sudah terbentuk lama dan terbakukan.
Emosi
merupakan hal yang tidak boleh diabaikan kalau menghendaki perubahan yang
dilakukan berhasil.
Anggapan
bahwa emosi merupakan hal yang diabaikan dan hanya merupakan faktor pengganggu
saja merupakan pandangan yang menyesatkan dalam menanggapi perubahan
organisasi.
Emosi
dapat berfungsi positif dan mendorong tercapainya perubahan organisasi kalau
emosi dikelola dengan wajar.
Hal ini
disebabkan karena emosi memiliki fungsi adaptif bagi individu yang
bersangkutan.
Di samping itu, emosi juga merupakan
komponen yang penting dalam motivasi sebab akan menggerakkan individu untuk
berperilaku tertentu.
Suatu
proses perubahan organisasi yang berjalan dengan baik melibatkan interaksi
terus menerus antara proses emosi dan kognitif para anggota organisasi (Yuwono
& Ani Putra, 2005).
Aksi
emosional Risma hingga saat ini untuk kasus Bandung, Tuban dan Tangerang cukup
membawa dampak.
Petugas
di Balai Wyata Guna Bandung berubah giat bekerja dan lebih serius mengerjakan
dapur umum.
Kasus
penyunatan bansos di Tangerang berlanjut ke kepolisian dan diusut para
pelakunya.
Sedangkan
di Tuban, dana yang sempat tertahan, akhirnya dikembalikan kepada yang berhak.
Aksi-aksi
"penyunatan" bansos di daerah-daerah, kini juga semakin berani disuarakan
karena masyarakat merasa mendapat "perhatian" dan "dukungan" dari Menteri Tri
Risma.
Penyunatan
jatah bantuan sosial tunai untuk warga Kelurahan Beji, Depok, Jawa Barat yang
sempat dikutip Rp 50 ribu dari jatah Rp 600 ribu, menjadi terbongkar karena
keburu viral di media sosial (Kompas.com,
29 Juli 2021).
Empat
orang PKM di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah berani melaporkan ke kepolisian
karena paket sembako yang diterimanya berbeda dengan ketentuan (Kompas.com, 29 Juli 2021).
Tri
Risma sempat mendapat "perlawanan" dari Bupati Alor, Nusa Tenggara Timur, Amon
Jobo, yang merasa tidak terima dengan aksi potong kompas
penyaluran bantuan untuk korban badai seroja yang melanda NTT beberapa waktu
lalu (Kompas.com, 03/06/2021).
Padahal,
Tri Risma mengambil langkah cepat penyaluran bantuan untuk para korban karena
kendala komunikasi sehingga pihaknya kesulitan berkoordinasi dengan dinas
sosial setempat.
Infrastruktur
dan jaringan komunikasi di Alor pasca badai memang mengalami kerusakan parah.
Agar
gaya "meledak-ledak"-nya tidak disalahartikan dan bisa diterima semua kalangan,
tampaknya Risma tidak saja harus mempertimbangkan segi rasional, tapi juga segi
emosional sehingga visi kepemimpinan yang dikemukakannya bersifat inspiring and motivating.
Risma
harus memenangkan "kepala dan hati " jajaran di bawahnya agar Kementerian
Sosial kembali ke jatidirinya sebagai pelayan rakyat.
Label
sebagai kementerian yang penuh "penyamun" harus ditransformasikan menjadi
kementerian yang sangat peduli dengan persoalan kerakyatan. (Ari Junaedi, Akademisi dan Konsultan
Komunikasi)-dhn
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Memaknai
Gaya Marah-marah Menteri Risma", Klik untuk baca:nasional.kompas.com/read/2021/07/31/11462361/memaknai-gaya-marah-marah-menteri-risma.