"Tidak semua partai terlibat dalam sistem oligarki, dinasti, feodalisme dan sebagainya. Bagi saya tidak ada dasar etika yang bisa dipakai untuk mengkritik."
Menurutnya masalah Etika politik ini sudah lama.
Baca Juga:
The Lead Institute Universitas Paramadina Gelar Diskusi Kepemimpinan Profetik dan Pilkada 2024
"Apakah ada partai yang lebih baik saya kira semua terlibat sehingga kita perlu mencari yang terbaik dari kita. Misalnya good governance yang ditawarkan barat pada kita tidak relevan, misalnya tidak ada item adil." Terangnya.
"Kerusakan etika publik di era pilpres tidak ada obatnya lagi, siapapun yang jadi presidennya. Karenanya kita perlu berpikir lebih dalam dan lebih konsisten." Tambahnya.
"Saya tidak ragu ketika Islam masuk ke ruang publik maka bisa membangun etika publik yang lebih baik. Mistik sintesis sama dengan bhinneka tunggal ika, bagaimana cara Islam melakukan internalisasi dengan budaya nusantara sehingga tidak muncul kekerasan. Pertemuan Islam dengan Pancasila itu hasil dari 'tabrakan', terjadi kompromi, sikap kompromi itu harus terus menerus terjadi." Ungkap Suaedy.
Baca Juga:
Universitas Paramadina Dorong Literasi Investasi Reksa Dana di Kalangan Mahasiswa
Dalam kesempatan yang sama Dr. Yayah Khisbiyah, Dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta memaparkan bahwa banyak analis yang betul-betul terkejut dengan fenomena dinasti politik atau set back demokrasi.
"Banyak analis menganggap bahwa Jokowi adalah solusi dari problem mandeknya demokrasi sejak orba, dia yang berangkat dari rakyat jelata, tapi kemudian dalam kurun waktu hampir 10 tahun kita dikejutkan dengan berbagai macam manuver yang memberangus demokrasi." Ujar Yayah.
Indikatornya banyak menurut Yayah, misalnya terjadi kemunduran demokrasi atau meningkatnya demokrasi liberal, bahkan ada kata kata yang sangat keras, antara lain ditujukan rektor Paramadina yakni mengenai masalah kebebasan berpendapat.