SAAT ini, semua negara sedang berjuang menghadapi pandemi Covid-19 dan krisis ekonomi. IMF
menamai krisis saat ini sebagai Great
Lockdown, belum pernah dilihat di dunia sebelumnya. Negara-negara ini
tengah mencari jalan untuk keluar dari kondisi ini.
Demikian
pun pemerintah Indonesia tengah fokus pada program-program strategis penanganan
Covid-19 dan pemulihan ekonomi.
Baca Juga:
Kemendag Sempurnakan Aturan Standardisasi untuk Lindungi Konsumen dan Dongkrak Daya Saing Produk Nasional
Di
bidang ekonomi, pemerintah tengah menyiapkan beberapa program baru seperti
melakukan format ulang kebijakan ekonomi untuk jangka panjang, termasuk di
bidang keuangan dengan membuat rencana reformasi sistem keuangan.
Rencana
pemerintah melakukan reformasi sistem keuangan itu akan diwujudkan melalui
penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) yaitu dengan
merevisi Undang-undang Bank Indonesia.
Pertanyaannya
adalah dimanakah posisi konsumen (perlindungan konsumen) dalam kebijakan
reformasi sistem keuangan ini.
Baca Juga:
Rugi Triliunan Rupiah, IAW: Kuota Konsumen yang Hangus Jadi ‘Sampah Digital Termahal’
Adalah
konsideran Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU
OJK), yang menyebutkan bahwa untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu
tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, diperlukan kegiatan di dalam sektor
jasa keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang
tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan
konsumen dan masyarakat.
Konsumen
adalah pihak-pihak yang menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan
yang tersedia di Lembaga Jasa Keuangan antara lain nasabah pada Perbankan,
pemodal di Pasar Modal, pemegang polis pada Perasuransian, dan peserta pada
Dana Pensiun, berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
Jika
melihat banyaknya/cakupan Lembaga Jasa Keuangan, maka dapat dikatakan bahwa
konsumen adalah kekuatan besar yang menggerakan ekonomi suatu negara.
Di sisi
lain, OJK mempunyai tupoksi memberikan perlindungan kepada konsumen dan
masyarakat, termasuk di dalamnya memberikan edukasi dan sosialisasi,
pencegahan, serta pembelaan hukum.
UU OJK
juga mengamanatkan dibentuknya Dewan Komisioner yang salah satu anggotanya
membidangi edukasi dan perlindungan konsumen.
Pengertian
perlindungan konsumen sendiri adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
Ada dua
isu penting dalam reformasis sistem keuangan itu yang sangat signifikan bagi
kepentingan konsumen.
Pertama,
soal pemindahan wewenang pengawasan perbankan dari OJK kembali ke BI.
Hal ini
nantinya harus jadi prioritas BI agar dapat menekan terjadinya praktek
pelanggaran terhadap hak-hak konsumen oleh pelaku jasa keuangan.
Karena
sementara ini praktek pelanggaran (bahkan tidak sedikit sebagai tindak
kejahatan) yang dilakukan oleh pelaku usaha jasa keuangan kepada konsumen masih
sering terjadi.
Kedua,
isu mengenai akan dibentuknya Dewan Moneter yang akan menghilangkan
independensi BI termasuk dalam pengawasan sektor moneter dan keuangan.
Jika hal
ini terjadi, maka pemerintah dapat mengintervensi kebijakan bank sentral yang
dikhawatirkan akan masuknya kepentingan politik, sehingga dapat terjadi BI
tidak independen lagi dalam melindungi konsumen.
Tingginya
angka pengaduan dan sengketa konsumen keuangan dari tahun ke tahun ke BPKN,
BPSK, YLKI dan LPKSM, yang mencakup investasi bodong, pinjol/fintech, leasing,
perbankan, asuransi (kasus jiwasraya, bumiputera, asabri, dll.). Termasuk
pengaduan pasca keluarnya POJK 11/POJK.03/2020 yang terbit setelah adanya
pidato Presiden RI tentang relaksasi dimana dalam implementasinya banyak yang
tidak sesuai dengan harapan, sedikit banyak berpengaruh terhadap perekonomian.
Bila
dilihat sejak 2017 hingga 19 Oktober 2020, total pengaduan yang diterima BPKN
adalah sebanyak 3.555 pengaduan dan sektor jasa keuangan sebanyak 418 atau
11,75%.
Sementara
untuk rekomendasi yang disampaikan BPKN kepada pemerintah sejak tahun 2004
hingga tahun ini, sudah ada 199 rekomendasi termasuk tentang keuangan.
Melihat
fenomena tingginya angka pengaduan tersebut, tampaknya perlu memperoleh
perhatian serius dari pemerintah.
Untuk
itu reformasi sistem keuangan sejatinya harus mengandung visi ke depan (forward
looking), yang bermuara pada keseimbangan eksistensi dan kepentingan
pelaku/industri jasa keuangan, serta perhatian terhadap hak-hak konsumen, dalam
wujud pengaturan tentang kewajiban, tanggung jawab dan perbuatan-perbuatan yang
dilarang dilakukan oleh pelaku usaha.
Dengan
kata lain, dalam Perppu tentang reformasi sistem keuangan itu harus didasari
dengan filosofi dan asas-asas perlindungan konsumen yakni asas manfaat, keadilan,
keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.
Sebab ke
depan, dengan terus berkembangnya teknologi dan informasi digital akan diikuti
dengan perkembangan kasus-kasus baru dan canggih yang dalam penanganannya
akan mempengaruhi kepercayaan konsumen kepada pelaku usaha jasa
keuangan/lembaga jasa keuangan, khususnya kelas menengah atas yang menjadi
penyumbang terbesar konsumsi rumah tangga. (Dr. Firman T. Endipradja, Komisioner BPKN RI, Dosen Hukum Perlindungan Konsumen
& Kebijakan Publik Pascasarjana Universitas Pasundan)-dhn