WahanaNews.co | Sejumlah kasus kekerasan yang
diduga dilakukan polisi terhadap tertuduh pelaku kejahatan hingga berujung pada
kematian kembali mencuat.
Awal
Februari ini, setidaknya dua orang kehilangan nyawa pada proses
penangkapan dan saat berada di tahanan. Keduanya belum terbukti bersalah.
Baca Juga:
Kepala Dinas Kaltim Sebut 568 Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak
Lembaga
advokasi hak asasi manusia menyebut, aparat kepolisian terlibat dalam puluhan kasus penyiksaan
terhadap terduga pelaku kejahatan selama setahun terakhir.
Penindakan
di lingkup internal melalui Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) dianggap
bukan solusi menghentikan tren "penghakiman di luar pengadilan" itu.
Revisi
Kitab Hukum Acara Pidana yang memuat pengawasan eksternal dinilai satu-satunya
jalan menghentikan kekerasan dalam penangkapan dan penahanan.
Baca Juga:
Kemen PPPA Kawal Kasus Penganiayaan Anak di Depok, Pastikan Anak Korban Dapat Perlindungan
Di sisi
lain, kepolisian mendorong anggotanya lebih memahami prosedur dan terus melatih
kemampuan menembak agar "upaya melumpuhkan tidak berujung mematikan".
Dua
orang yang tewas saat dan usai dibekuk polisi itu adalah Herman di Balikpapan,
Kalimantan Timur, dan Deki Susanto di Solok Selatan, Sumatera
Barat.
Herman
tewas di dalam tahanan polisi setelah dituduh mencuri telepon genggam.
Sementara
itu, Deki tewas setelah kepalanya ditembak polisi saat hendak ditangkap karena
dituduh terlibat judi.
Vita: Suami
Saya Dihajar Besi
Sebelumnya, tuduhan penganiayaan oleh polisi
juga diceritakan Vita, warga Tanah Datar, Sumatera Barat.
Vita
berkata, suaminya, berinisial VA, berprofesi sebagai pedagang buah kaki lima,
disiksa polisi setelah ditangkap dalam kasus dugaan pencurian sepeda motor,
akhir Desember 2020.
Vita
mengklaim, kepolisian menghalangi dia bertemu suaminya. Dia baru dapat
melihat suaminya di tahanan tiga hari pasca-penangkapan.
"Wajahnya
tidak seperti orang lagi, bengkak, memar, merah, biru, mulut jontor. Babak
belur intinya," kata Vita, via telepon.
"Saya
tanya ke polisi yang ada di situ, 'Kamu
apakan suami saya?' Dia diam saja," ujarnya.
Vita
bilang, saat hendak menangkap suaminya, polisi mengeluarkan tembakan
peringatan. Padahal, kata dia, suaminya tidak memiliki senjata apapun.
"Suami
saya dihajar pakai besi. Mulutnya dilakban. Dia disiksa, disulut rokok sampai
kencingnya berdarah," katanya.
"Padahal,
saat berkas perkaranya dilimpahkan ke kejaksaan, jaksa kembalikan lagi ke
polisi. Tidak ada ujungnya," imbuh Vita.
Saat
dikonfirmasi soal testimoni Vita tadi, Juru Bicara Polda Sumatera
Barat, Kombes Stefanus Satake Bayu, menyebut, pihaknya belum menerima laporan
soal dugaan kekerasan oleh polisi di Tanah Datar.
Vita
memang belum melaporkan kekerasan itu.
Setelah
berkonsultasi dengan beberapa pihak, termasuk LBH Padang, dia ragu polisi yang
menganiaya suaminya bakal diproses secara hukum.
"Kalau
suami saya mati, mungkin baru kasusnya diangkat. Tapi, kalau masih hidup, mungkin tidak
akan pernah diproses. Mungkin memang harus tunggu mati dulu," kata Vita.
Wartawan telah berusaha mewawancarai Kepala
Biro Penerangan Masyarakat Polri, Brigjen Rusdi Hartono, terkait bagaimana
lembaganya mengatasi kasus yang disebut sebagai extra judicial killing oleh pemerhati HAM itu.
Namun, upaya
konfirmasi lewat pesan singkat dan sambungan telepon itu belum ditanggapi.
Bagaimanapun,
Kombes Satake Bayu menyebut, setiap anggota polisi di bawah Polda Sumatera
Barat harus mencegah kematian seseorang dalam proses pengusutan perkara pidana.
"Kemampuan
anggota kami harus dilatih, terutama dalam menembak," kata Satake.
"Anggota
kami juga harus mengetahui standar operasional prosedur dalam hal penangkapan.
Administrasinya juga harus mereka siapkan," ujarnya kepada wartawan di
Padang.
Dalam
kasus kematian Deki Susanto di Solok Selatan, terdapat enam polisi yang
diperiksa, tapi baru satu yang dijadikan tersangka.
Adapun
dalam kasus kematian Herman di Balikpapan, enam polisi diperiksa dalam ranah
kode etik profesi.
Apa
yang perlu dilakukan agar kasus kematian dalam proses penangkapan dan penahanan
tidak terulang?
Yang
jelas, solusinya bukanlah pengusutan dan pengawasan di internal kepolisian, menurut
Komisioner Komnas HAM, Mohammad Choirul Anam.
"Itu
tidak mungkin. November lalu, untuk beberapa kasus kekerasan, saya kirim surat ke Kapolri. Tapi,
Desember, kasus serupa terjadi lagi. Januari dan Februari ini juga
terjadi lagi," ujarnya.
"Pengawasan
eksternal dan akuntabilitas polisi harus diperkuat. Secara sistematis dan
struktural, pencegahan penyiksaan ini harus disosialisasikan kepada polisi,
termasuk saat mereka naik pangkat," katanya.
"Pencegahan
ini butuh sensitivitas, pengetahuan, dan harus terus-menerus diingatkan,"
kata Anam.
Sementara
itu, Ombudsman mendorong pemerintah untuk segera meratifikasi Protokol Opsional
Konvensi Internasional Menentang Penyiksaan.
Konvensi
ini diterbitkan PBB tahun 2009, namun hingga saat ini Indonesia belum mengadopsinya ke dalam
sistem hukum nasional.
"Kekerasan
dan penyiksaan ini sifatnya sistemik dan tidak terbantahkan, karena
dimulai dari aturannya," kata Ninik Rahayu, anggota Ombudsman.
"Jangan-jangan
di kepolisian memang belum ada pemahaman yang merata tentang anti-penyiksaan
ini," ujarnya.
Akan
tetapi, menurut Era Purnamasari, pengacara publik di Yayasan Lembaga Bantuan
Hukum Indonesia, ratifikasi itu tidak cukup.
Era
berkata, solusi kunci persoalan ini adalah memasukkan konsep habeas corpus ke dalam KUHAP.
Artinya,
kata dia, ada lembaga lain di luar Polri yang dapat menilai sah tidaknya
penahanan.
Selama ini, lanjutnya, tahap penahanan menjadi momen
terjadinya berbagai tindak kekerasan oleh polisi.
"Peraturan
Kapolri 8/2009 mengadopsi berbagai konvensi internasional, tapi nyatanya ini
gagal menjamin pemenuhan orang yang ditetapkan jadi tersangka dan
ditahan," kata Era.
"Kenapa
gagal? Ada Peraturan Kapolri 6/2019 tentang manajemen penyidikan. Ada
kemunduran spirit pemenuhan HAM dalam aturan ini. Jadi percuma saja jaminan HAM
tersangka sudah dimuat, tapi manajemen penyidikannya dilonggarkan. Akan tetap
terjadi pelanggaran hak tersangka," tandasnya.
"Sementara
dalam proses internal, hukuman disiplin jadi modus kepolisian menghindari
pemidanaan yang layak terhadap pelaku, bahwa sudah ada tanggung jawab atas
penyiksaannya. Jadi jawabannya memang harus di level undang-undang, melalui
perubahan KUHAP," ujar Era.
Bagaimanapun,
perubahan KUHAP tidak masuk dalam program legislasi nasional tahun 2021 yang
dibuat DPR Januari lalu.
Dan, dalam
catatan Kontras, selama Juni 2019 hingga Mei 2020, terjadi 48 kasus penyiksaan yang
dilakukan polisi. Mayoritas terjadi di tingkat Polres. [dhn]