"Ini perlu ada identifikasi yang cukup adil, jadi jangan sampai kejahatan narkotika di-gebyah uyah (dipukul rata) semua, kalau memang hanya pemakai ya segera remisi diberikan seperti pernyataan MK," kata dia menambahkan.
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, juga menilai langkah MK sudah tepat.
Baca Juga:
MK Putuskan Libur 1 untuk 6 Hari dalam UU CiptaKerja Bertentangan dengan UUD
Sebab, menurutnya, jika remisi masuk dalam putusan hakim, sebagaimana dorongan sejumlah pihak, maka hal itu hanya akan membuat sebuah ketidakpastian hukum.
"Karena seseorang belum tentu dihukum seperti yang dijatuhkan oleh pengadilan negeri, bisa jadi di pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung dibebaskan. Karena itu remisi bukanlah menjadi kewenangan peradilan," kata Fickar, saat dihubungi wartawan.
Ia menjelaskan, remisi merupakan apresiasi bagi napi yang berkelakuan baik, demikian juga bisa ditingkatkan dengan Asimilasi dan pembebasan bersyarat.
Baca Juga:
MK Kabulkan 70% Tuntutan Buruh, Serikat Pekerja Rayakan Kemenangan Bersejarah dalam Revisi UU Cipta Kerja
Oleh sebab itu, ia menilai bahwa remisi bukan wilayah peradilan, tetapi lebih merupakan kewenangan dalam konteks rehabilitasi yang dilakukan oleh institusi pemasyarakatan.
Lagipula, menurut dia, aturan dalam PP 99/2012 itu sejatinya merupakan pengetatan pemberian remisi, terutama pada napi kasus korupsi.
Karena itu ukurannya pelunasan terhadap seluruh kewajiban pada negara sebagaimana diputuskan dalam putusan pengadilan.