WahanaNews.co | Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materi UU Pemasyarakatan dinilai bukan pembenaran untuk mempermudah remisi bagi narapidana kasus korupsi.
Bola panas kini di tangan Kementerian Hukum dan HAM.
Baca Juga:
MK Putuskan Libur 1 untuk 6 Hari dalam UU CiptaKerja Bertentangan dengan UUD
Sebelumnya, narapidana kasus korupsi, OC Kaligis, mengajukan uji materi Pasal 14 ayat (1) huruf i UU Pemasyarakatan dan penjelasannya soal hak remisi serta kaitannya dengan Pasal 34A, 36A, 43A, dan 43 B Peraturan Pemerintah Nomor 99 tahun 2012 tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Mantan Ketua Mahkamah Partai NasDem ini memprotes ketentuan UU Pemasyarakatan soal hak remisi tersebut yang memberi persyaratan tertentu di bagian penjelasannya.
Oleh Kemenkumham era SBY, persyaratan remisi bagi narapidana kasus kejahatan berat, seperti korupsi, narkotika, dan terorisme, diperketat lewat PP No. 99 Tahun 2012.
Baca Juga:
MK Kabulkan 70% Tuntutan Buruh, Serikat Pekerja Rayakan Kemenangan Bersejarah dalam Revisi UU Cipta Kerja
Syarat-syarat itu di antaranya adalah bersedia bekerjasama untuk membongkar kejahatannya (justice collaborator), mendapat rekomendasi dari lembaga terkait seperti KPK, membayar lunas uang pengganti kerugian atas kejahatannya, hingga menjalani dua pertiga masa hukumannya.
Atas permohonan uji materi tersebut, MK, dalam pertimbangan putusannya, menyatakan hak remisi harus berlaku sama untuk setiap warga binaan alias narapidana, termasuk kasus korupsi.
Mahkamah pun menyebut aturan teknis pemasyarakatan harus mengusung konsep keadilan yang memperbaiki atau restorative justice.
"Sejatinya hak untuk mendapatkan remisi harus diberikan tanpa kecuali. Artinya, berlaku sama bagi semua warga binaan, kecuali dicabut berdasarkan putusan pengadilan," kata Hakim Konstitusi, Suhartoyo, Kamis (30/9/2021).
Di sisi lain, MK berpendapat pemberian remisi merupakan otoritas penuh lembaga pemasyarakatan.
Oleh sebab itu, tidak seharusnya keputusan pemberian remisi dipengaruhi oleh lembaga lain.
MK pun menyatakan syarat tambahan pemberian remisi tidak seharusnya menghalangi warga binaan mendapatkan hak.
Mahkamah menilai syarat tambahan seharusnya hanya berlaku terkait penambahan jumlah remisi.
"Meskipun demikian, pemberian hak tersebut tidak lantas menghapuskan kewenangan negara untuk menentukan persyaratan tertentu yang harus dipenuhi oleh warga binaan karena hak tersebut merupakan hak hukum (legal rights),"menurut MK.
Pakar hukum pidana Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Hibnu Nugroho, mengatakan, dengan pernyataan MK itu bola panas kini bergulir ke Kementerian Hukum dan HAM.
Pasalnya, putusan MK sebatas berdasarkan hak, sementara Kemenkumham memiliki kewenangan untuk membatasinya.
"Putusan MK itu kan hak, berdasarkan hak, tapi kementerian punya kewenangan untuk membatasinya ketika ada kebijakan kejahatan-kejahatan yang masuk (kategori) luar biasa untuk menjadikan suatu penjeraan, sehingga tidak ada pelaku tindak pidana serupa," ujar Hibnu, saat dihubungi wartawan, Senin (4/10/2021).
Pernyataan MK tersebut, lanjutnya, juga bukan berarti pemerintah mencabut atau mengubah PP tersebut.
Menurut dia, yang harus dilakukan Kemenkumham yakni mengatur lebih jelas untuk meminimalisasi tindak pidana serupa.
"Kementerian ke depan bisa mengatur tersendiri, yang tujuannya adalah untuk menjadikan, tidak terjadi satu tindak pidana serupa. Tujuannya adalah untuk menjadikan suatu pencegahan, untuk membuat jera pelaku-pelaku lain," cetusnya.
Di sisi lain, Hibnu menyebut pernyataan MK ini dapat menjadi salah satu solusi untuk mengatasi masalah kelebihan kapasitas di lapas.
Menurut dia, pemberian remisi seharusnya ditekankan kepada narapidana kasus narkoba, apalagi kepada para pemakai.
Sebab, saat ini, hampir 50 persen lebih kapasitas lapas dihuni napi terkait kasus narkoba.
"Kasus narkotika harus dipilah, karena 50 persen kasus narkotika. Narkotika mana yang dikecualikan, dan mana yang harus diberikan satu remisi," ujar Hibnu.
"Ini perlu ada identifikasi yang cukup adil, jadi jangan sampai kejahatan narkotika di-gebyah uyah (dipukul rata) semua, kalau memang hanya pemakai ya segera remisi diberikan seperti pernyataan MK," kata dia menambahkan.
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, juga menilai langkah MK sudah tepat.
Sebab, menurutnya, jika remisi masuk dalam putusan hakim, sebagaimana dorongan sejumlah pihak, maka hal itu hanya akan membuat sebuah ketidakpastian hukum.
"Karena seseorang belum tentu dihukum seperti yang dijatuhkan oleh pengadilan negeri, bisa jadi di pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung dibebaskan. Karena itu remisi bukanlah menjadi kewenangan peradilan," kata Fickar, saat dihubungi wartawan.
Ia menjelaskan, remisi merupakan apresiasi bagi napi yang berkelakuan baik, demikian juga bisa ditingkatkan dengan Asimilasi dan pembebasan bersyarat.
Oleh sebab itu, ia menilai bahwa remisi bukan wilayah peradilan, tetapi lebih merupakan kewenangan dalam konteks rehabilitasi yang dilakukan oleh institusi pemasyarakatan.
Lagipula, menurut dia, aturan dalam PP 99/2012 itu sejatinya merupakan pengetatan pemberian remisi, terutama pada napi kasus korupsi.
Karena itu ukurannya pelunasan terhadap seluruh kewajiban pada negara sebagaimana diputuskan dalam putusan pengadilan.
"Baru hak remisi itu diberikan, bahkan ada pengecualiaan juga pada napi-napi tertentu. Karena itu yang jadi persoalan sebenarnya kewenangan rehabilitasi dan memasyarakatan, tidak terjebak menjadi komoditi yang diperdagangkan," tuturnya.
Terkait putusan MK tersebut, KPK sendiri berharap kebijakan soal remisi tetap bisa mendukung program pemberantasan korupsi.
"Pemberantasan korupsi sepatutnya kita maknai sebagai siklus dari hulu ke hilir yang saling terintegrasi," kata Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri, di Jakarta, Jumat (2/10/2021). [qnt]