WahanaNews.co | Dari enam model desain penyederhanaan surat suara pada pemilihan umum yang
dilansir Komisi Pemilihan Umum (KPU), salah satunya menyebutkan pemilih bisa memberikan
suara dengan cara menulis.
Jika merujuk perjalanan sejarah pemilu, cara menulis
sebenarnya bukan sesuatu yang baru, meski harus diakui pemilih di negeri ini
belum terbiasa menuliskan pilihannya pada surat suara.
Baca Juga:
Operasi Seroja Timtim: Komandan Pasukan Gugur di Pelukan Prabowo
Dalam bayangan pemilih di Indonesia, mencoblos adalah
satu-satunya cara yang melekat dalam memori mereka tentang metode pemberian
suara pada pemilihan umum.
Ketika berada di dalam bilik suara, pemilih tinggal
memakai alat tusuk dan kemudian menusuk, atau sekarang lebih populer dengan
mencoblos, nomor urut, nama calon, atau gambar partai politik pada pemilihan
umum legislatif.
Hal ini diperkuat dengan hasil jajak pendapat Kompas, yang memperlihatkan metode mencoblos lebih banyak dipilih responden (85,2
persen) dibandingkan dengan cara mencontreng.
Baca Juga:
Saat Teroris Noordin M Top Tewas di Solo
Pilihan mencoblos juga lebih banyak dipilih (86,7
persen) jika dibandingkan dengan cara menulis.
Tidak heran jika kemudian metode mencoblos memang
masih menjadi cara yang mudah dan sederhana bagi seluruh kalangan pemilih dari
berbagai latar belakang (Kompas, 12/7/2021).
Pilihan metode mencoblos juga jangan dibayangkan
sebagai pilihan rasional dari mereka yang mungkin secara latar belakang
pendidikan menengah bawah.
Mencoblos tidak sekadar terkait isu tingkat pendidikan, karena metode ini
lebih banyak dipilih dari semua kelompok responden berdasarkan latar belakang
tingkat pendidikan.
Hasil jajak pendapat Kompas juga merekam, baik kelompok
responden berpendidikan rendah, menengah, maupun tinggi, mayoritas dari ketiga
kelompok ini lebih memilih mencoblos.
Hal ini semakin menegaskan, mencoblos lebih mudah
diterima dan dijalankan.
Lalu, apakah upaya Komisi Pemilihan Umum (KPU)
mengenalkan enam desain surat suara yang beberapa di antaranya menggunakan
metode menulis sebagai sesuatu yang baru dan sulit dilakukan oleh pemilih?
Tentu saja jawabannya berpulang pada uji coba surat
suara tersebut, yang pada akhirnya harus dilakukan kepada semua kalangan
pemilih dari sejumlah latar belakang.
Namun, jika kita tengok rekam jejak surat suara pemilu
di Indonesia, metode pemberian suara dengan cara menulis sebenarnya bukan
sesuatu yang baru.
Pemilu 1955, yang dikenal sebagai pemilu pertama yang
demokratis, sebenarnya sudah memberikan peluang bagi pemilih untuk menggunakan
metode menulis dalam memberikan pilihan politiknya.
Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan DPR yang menjadi dasar hukum
pelaksanaan Pemilu 1955.
Dalam Pasal 67 ayat (2) UU tersebut
disebutkan, pemilih memberikan suara dengan menusuk tanda atau gambar. Hal
lainnya juga disebutkan, pemilih memberikan suara kepada seorang calon dengan
menulis nomor serta nama dari calon dalam ruangan (space)
yang disediakan dalam surat suara.
Untuk memudahkan pemilih menulis nama calon yang
dipilihnya, di setiap bilik suara dipasang daftar calon tetap.
Pemilu 1955 dilakukan dalam dua tahap, yakni memilih
anggota DPR yang digelar pada 29 September 1955, dan memilih anggota
Konstituante yang digelar pada 15 Desember 1955.
Dalam buku Naskah Sumber Arsip
Jejak Demokrasi Pemilu 1955 (2019) disebutkan bahwa pemilihan anggota DPR tahun 1955 diikuti oleh 36 partai
politik, 34 organisasi massa, dan 48 calon perseorangan.
Sementara itu, pemilihan anggota Konstituante diikuti
oleh 39 partai politik, 23 organisasi massa, dan 29 calon perseorangan.
Dari setiap surat suara untuk pemilihan DPR dan
Konstituante tersebut, surat suaranya hanya berisi nomor urut gambar partai dan
nama calon perseorangan.
Pemilih bisa menggunakan cara mencoblos ataupun
menulis untuk memilih anggota DPR dan Konstituante, seperti yang tertuang
dalam Pasal 67 ayat (2) UU No 7/1955 di atas.
Jika mengacu pengalaman regulasi pada Pemilu 1955
tersebut, model 1, 2, dan 3 dari desain yang diperkenalkan KPU sebagai upaya
penyederhanaan surat suara, tidak jauh berbeda dengan pengalaman pada Pemilu
1955 ini.
Dalam diskusi virtual KPU terkait penyederhanaan surat
suara, Rabu (21/7/2021), anggota KPU, Viryan Azis, menunjukkan gambar surat suara yang dipakai pada
Pemilu 1955.
Di bagian bawah kanan surat suara ada kotak kecil yang
ditujukan bagi pemilih untuk menuliskan pilihannya.
"Hal ini menegaskan memilih dengan menulis bukan
sesuatu yang baru di Indonesia," ujar Viryan.
Dalam salah satu artikel di blog pribadinya, Viryan, yang
kini juga mendalami sejarah pemilu, menambahkan keterangan bahwa setelah Pemilu
1955, pada pemilu lokal memilih anggota DPRD pada kurun 1957-1958 yang
dilaksanakan berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1957, surat suara yang digunakan pada
semua daerah yang mengadakan pemilu lokal sama dengan desain surat suara Pemilu
1955.
Jika mengacu pada hal itu, pemilih di Indonesia tidak
sekali menggunakan metode menulis dalam menentukan pilihan politiknya.
Era Mencoblos
Setelah Pemilu 1955, metode mencoblos semakin
dikukuhkan sebagai satu-satunya cara pemberian suara pada pemilu, terutama
ketika memasuki pemilu era Orde Baru.
Pemilu 1971 yang mulai memperkenalkan konsep pemilu
serentak, yakni memilih anggota DPR nasional dengan DPRD berbarengan, juga
diikuti dengan desain surat suara yang terpisah.
Jika pada Pemilu 1955 hanya satu kertas suara, baik
untuk memilih anggota DPR maupun anggota Konstituante, pada Pemilu 1971 mulai
digunakan tiga surat suara, yakni surat suara untuk DPR, DPRD Tingkat I, dan
DPRD Tingkat II.
Surat suara berisi nomor urut dan gambar 10 partai
politik yang menjadi peserta Pemilu 1971.
Setelah kebijakan fusi partai politik tahun 1973,
pemilu-pemilu berikutnya malah lebih sederhana lagi karena jumlah kontestannya
jauh lebih sedikit.
Kebijakan fusi ini menggabungkan sejumlah partai ke
dalam tiga kelompok, yakni satu golongan karya dan dua lainnya sebagai partai
politik.
Praktis, pada pemilu berikutnya, yakni Pemilu 1977
sampai Pemilu 1997, peserta pemilu hanya tiga, yakni Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), Golongan Karya, dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Desain surat suara pemilu era Orde Baru pun makin
sederhana.
Jika sebelumnya berisi 10 gambar partai politik
beserta nomor urutnya, mulai Pemilu 1977 hanya berisi tiga gambar peserta
pemilu.
Kondisi ini bertahan hingga pemilu berikutnya pada era
Orde Baru, yakni sampai Pemilu 1997.
Tak heran jika kemudian metode mencoblos begitu kuat
tertanam pada memori masyarakat Indonesia karena selama tiga dekade lebih
pemilihan umum yang digelar identik dengan pencoblosan, bahkan tak jarang jenis
metode sudah menggeser kata memilih itu sendiri.
"Sudah mencoblos?" begitu kata-kata yang kerap kita
dengar untuk "menggantikan" pertanyaan "sudah memilih?".
Pemilu Reformasi
Memasuki era Reformasi, mencoblos dipertahankan
sebagai metode pemberian suara pada pemilu.
Pada Pemilu 1999, jumlah kontestan makin bertambah
karena euforia reformasi, yakni mencapai 48 partai politik.
Surat suara pun kembali lebih besar dengan menampung
nomor urut beserta gambar logo dari semua partai politik peserta pemilu
tersebut.
Total jumlah surat suara tetap tiga, yakni untuk DPR,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Kondisi ini kembali dipertahankan pada Pemilu 2004
yang diikuti 24 partai politik dengan penambahan satu surat suara untuk Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) yang desainnya sedikit berbeda dibandingkan tiga surat
suara lainnya (DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota).
Khusus surat suara DPD, selain nomor urut dan nama
calon, juga harus ditampilkan foto dari calon anggota DPD.
Semua metode pemilihan tetap dilakukan dengan cara mencoblos.
Selain empat suara pemilu legislatif, pada Pemilu 2004
mulai diberlakukan juga pemilihan langsung presiden yang digelar terpisah
setelah pemilu legislatif.
Desain surat suara pilpres hanya mencantumkan nomor
urut, nama, dan foto pasangan calon.
Hal berbeda ditemui pada Pemilu 2009.
Pemilu yang diikuti 38 parpol ini menggunakan jumlah
surat suara yang sama dengan Pemilu 2004, yakni empat surat suara (DPR, DPD,
DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota).
Pada pemilu ketiga era Reformasi ini metode memilih
berubah menjadi memberi tanda atau kemudian dikenal dengan sebutan mencontreng.
Hal yang sama juga diberlakukan pada pemilihan
presiden.
Namun, hasil evaluasi kemudian menyebutkan metode
mencontreng justru lebih susah diikuti, khususnya oleh pemilih yang masih
terkendala dengan buta huruf dan kemampuan menggunakan alat tulis untuk memberi
tanda (mencontreng).
Tidak heran jumlah surat suara tidak sah pada Pemilu
2009 mencapai 17,7 juta suara atau 14,43 persen dari jumlah pemilih yang
menggunakan hak suaranya pada pemilu.
Akhirnya, pada Pemilu 2014, yang diikuti 12 partai
politik, metode mencoblos kembali dipergunakan dengan empat surat suara yang
sama seperti Pemilu 2009 plus satu surat suara untuk pemilihan presiden yang
juga dilakukan secara terpisah.
Terakhir, dalam Pemilu 2019 yang diikuti 16 partai
politik juga diberlakukan empat surat suara legislatif yang sama dengan pemilu
sebelumnya.
Hanya saja, perhelatan pemilu legislatif mulai
dilakukan secara serentak dengan pemilihan presiden.
Pada Pemilu 2019 ini, surat suara pemilu
presiden, selain berisi nomor urut, nama, dan foto pasangan calon, juga mulai
dicantumkan gambar parpol pengusung pasangan calon tersebut.
Pada akhirnya, rekam jejak surat suara ini makin menegaskan bahwa
sejarah membuktikan desain surat suara sudah beberapa kali berubah dan
berkembang, termasuk metode pemberian suara itu sendiri.
Upaya KPU meredesain surat suara perlu diberi ruang
selama desain surat suara tersebut tetap mengedepankan kemudahan bagi
penyelenggara dan pemilih, serta tetap memberikan akses yang sama kepada semua
latar belakang pemilih.(Litbang Kompas)-dhn