WahanaNews.co | Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 tetap dilaksanakan secara serentak.
Mulai dari Pemilihan Legislatif (Pileg) DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, serta Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
Baca Juga:
Soal Upah Minimum Sektoral, Presiden Prabowo Arahkan Perumusan Pasca Putusan MK
Hal itu ditegaskan MK dalam putusan uji materiel Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Pemohon menggugat format penyelenggaraan Pemilu Serentak 2024.
"Amar putusan, mengadili dalam provisi, menolak provisi para pemohon. Dalam pokok permohonan, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua Majelis Hakim MK, Anwar Usman, di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (24/11/2021).
Baca Juga:
MK Putuskan Libur 1 untuk 6 Hari dalam UU CiptaKerja Bertentangan dengan UUD
Pada pertimbangannya, Mahkamah menyatakan model keserentakan penyelenggaraan pemilu sejatinya tertuang dalam putusan MK Nomor 55 Tahun 2019.
Putusan itu tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Permohonan pemohon mengenai model pemisahan penyelenggaraan Pileg DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota juga dinilai telah tertuang dalam putusan MK Nomor 55 Tahun 2019.
Keinginan pemohon terkait pemisahan penyelenggaraan Pileg dengan pemilihan anggota DPR, DPD, Presiden, dan Wakil Presiden, bukan lagi ranah MK.
"Keinginan para pemohon untuk lebih memfokuskan kepada salah satu model tersebut tidak lagi berada dalam wilayah kewenangan mahkamah, tetapi telah diserahkan menjadi kewenangan pembentuk undang-undang," ujar Saldi.
Penentuan model Pemilihan Umum, kata Saldi, menjadi kewenangan pembentuk undang-undang.
Namun, model yang dipilih harus menjaga prinsip keserentakan dalam pemilihan.
Sementara itu, dalil pemohon yang menilai kehadiran lima kotak suara pemilihan membuat beban penyelenggara, dikesampingkan Mahkamah.
Majelis hakim menilai, hal itu sejatinya berkaitan dengan tata kelola manajemen penyelenggara serta model yang akan ditentukan.
"Mahkamah menilai hal tersebut berkaitan dengan teknis dan manajemen, atau tata kelola pemilihan umum yang menjadi faktor penting kesuksesan penyelenggaraan pemilihan umum serentak," ujar Saldi.
MK juga memerintahkan DPR dan penyelenggara pemilihan umum (pemilu) segera menentukan model pemilihan Pemilu Serentak 2024.
Penentuan guna mengantisipasi potensi persoalan teknis penyelenggaraan di tiap tingkatan.
Masalah teknis yang dimaksud merujuk pada permohonan pemohon yang mendalilkan rangkaian Pemilu Serentak 2024 bakal membebani penyelenggara.
Hal itu dinilai tak rasional dan manusiawi.
"Maka melalui putusan ini mahkamah menegaskan agar pembentuk undang-undang dan penyelenggaraan pemilihan umum untuk segera menindaklanjuti putusan MK a quo," ujar Saldi.
Verifikasi Faktual
Pada persidangan tersebut, MK juga menjatuhkan putusan ketentuan verifikasi faktual bagi partai politik (parpol) yang tak lolos ke Parlemen pada Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019.
Hal itu tertuang dalam putusan permohonan uji materiel Undang-Undang (UU) Pasal 173 ayat (1) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang diajukan oleh Partai Berkarya, Perindo, dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
MK menegaskan parpol yang memenuhi kebutuhan parliamentary threshold atau ambang batas Parlemen pada Pemilu 2019 tidak perlu diverifikasi secara faktual.
Parpol yang memiliki kursi di parlemen cukup diverifikasi secara administrasi.
Sementara itu, parpol yang tidak mencapai ketentuan ambang batas parlemen serta hanya memiliki dan tidak punya keterwakilan di DPRD harus diverifikasi secara administrasi dan faktual.
Syarat itu juga berlaku bagi parpol baru yang akan mengikuti pemilu.
Hakim Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Suhartoyo menyatakan concurring opinion.
Pada pertimbangannya, ketiga hakim menilai syarat verifikasi mestinya diberlakukan sama bagi semua parpol peserta pemilu.
"Sehingga, kekhawatiran para pemohon mengenai adanya diskriminasi perlakuan terhadap partai politik peserta pemilu tidak akan terjadi. Karena semua parpol peserta pemilu diperlakukan sama, yaitu harus dilakukan verifikasi administratif dan verifikasi faktual," ujar Saldi.
Kewenangan KY
Di sisi lain, MK juga memutuskan Komisi Yudisial (KY) tetap berwenang menyeleksi calon hakim ad hoc di Mahkamah Agung (MA). Kapasitas KY untuk menyeleksi masih diperlukan.
Hal itu termuat dalam putusan Nomor 92/PUU-XVIII/2020. Pemohon pada putusan itu mengajukan pengujian Pasal 13 huruf a Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2011 tentang KY.
Hakim Saldi menuturkan wewenang perekrutan hakim ad hoc pada MA berkaitan erat dengan sejumlah hal.
Mulai dari upaya menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim guna tegaknya hukum dan keadilan.
"Sebab, dengan adanya hakim ad hoc pada MA diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam meningkatkan kualitas putusan di MA melalui keahlian khusus yang dimiliki hakim ad hoc," ujar Saldi.
Gugatan Terpidana Korupsi
MK turut menolak permohonan uji materiel Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Permohonan itu diajukan terpidana kasus korupsi sekaligus mantan panitera pengganti Pengadilan Negeri Tangerang, Tuti Atika.
Menurut mahkamah, pokok permohonan dengan nomor 49/PUU-XIX/2021 itu kabur.
Meski dinyatakan tak kabur pun, norma yang dimohonkan pemohon disebut tidak memiliki persoalan konstitusionalitas.
Anggota majelis hakim MK, Daniel Yusmic P Foekh, mengatakan Tuti tidak menguraikan alasan permohonan berkaitan dengan inkonstitusionalitas norma pasal-pasal yang dimohonkan pengujian (posita).
Dia juga tidak menguraikan alasan adanya pertentangan norma yang dimohonkan.
"Hanya menguraikan kasus konkret yang dialami oleh pemohon, maka mahkamah tidak dapat mempertimbangkan lebih lanjut permohonan pemohon. Oleh karena itu, terhadap permohonan pemohon a quo haruslah dinyatakan kabur (obscuur)," ujar Daniel.
Tuti mengajukan gugatan itu karena merasa dirugikan dengan pengenaan Pasal 11 dan Pasal 12 huruf c UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Tuti tidak terima pidana penjara yang didapatkannya. Dia divonis empat tahun bui serta denda Rp 200 juta.
Dia dianggap bersama-sama hakim Wahyu Widya Nurfitri melakukan korupsi.
Pada perkara tersebut, Widya divonis lima tahun penjara.
Tuti merasa diperlakukan tidak adil karena dianggap melakukan korupsi secara bersama-sama.
Penerapan pasal itu dianggap tidak manusiawi dan rasional, lantaran Tuti mengeklaim hanya mengikuti perintah Widya sebagai atasannya.
Penarikan Gugatan Permendikbud
MK mengabulkan permohonan penarikan gugatan terhadap Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 50 Tahun 2015 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI).
Perkara nomor 52/PUU-XIX/2021 itu diajukan Ludjiono selaku pensiunan Dinas Kesehatan Kabupaten Situbondo, Jawa Timur.
Ludjiono awalnya menyatakan Permendikbud PUBEI bertentangan dengan Pasal 36 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Dia menguji penggunaan huruf/abjad/aksara sebagaimana dalam beleid tersebut.
Persidangan perkara itu sudah mencapai tahapan perbaikan permohonan pada 25 Oktober 2021.
Namun, pemohon langsung menyatakan mencabut atau menarik kembali permohonannya.
Gugatan UU Pengadilan Pajak
Pada hari yang sama, MK juga menolak gugatan uji materi Pasal 42 ayat (3) Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
Gugatan dengan nomor perkara 51/PUU-XIX/2021 itu diajukan Direktur Utama (Dirut) PT Sainath Realindo, Vikash Kumar Dugar.
MK menilai permohonan itu tak beralasan hukum. Pemohon mendalilkan rumusan norma Pasal 42 ayat (3) UU Pengadilan Pajak.
Beleid itu berbunyi, “Gugatan yang telah dicabut melalui penetapan atau keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diajukan kembali.”
Pemohon menilai gugatan dengan subjek yang sama tidak dapat diajukan kembali atau ne bis in idem meski gugatan itu dikabulkan atau ditolak oleh pengadilan.
Pemohon menilai beleid itu tidak memuat kriteria pedoman hakim pengadilan pajak terkait penerapan asas ne bis in idem.
Hal itu dinilai menimbulkan kesewenang-wenangan hakim pengadilan pajak dan bertentangan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Anggota majelis hakim MK, Suhartoyo, menilai penggugat dapat menyiapkan perubahan jika ingin kembali mengajukan gugatan serupa.
Perubahan meliputi bagian para pihak, posita, dan petitumnya.
Gugatan baru sejatinya menjadi kewenangan hakim.
Hakim bakal memeriksa syarat atau kriteria pemberlakukan asas gugatan dapat diajukan kembali ataupun asas ne bis in idem.
"Apabila menurut penilaian hakim berkenaan dengan gugatan baru tersebut tidak ditemukan perbedaan dengan gugatan sebelumnya, maka terhadap gugatan tersebut dimaknai sebagai gugatan yang tidak dapat diajukan kembali ataupun apabila terhadap gugatan tersebut telah terdapat gugatan yang sama dan telah ada putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, maka dapat diberlakukan asas ne bis in idem," ujar Suhartoyo. [dhn]