WahanaNews.co | Penghentian kasus pidana dengan keadilan restoratif atau restorative justice, dipastikan tidak berlaku untuk kasus pembunuhan.
Hal itu ditegaskan pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar, dikutip Selasa (19/7/2022).
Baca Juga:
Kasus Perundungan Mahasiswi PPDS Undip, Penyidik Periksa Ahli Autopsi Psikologis
"Dalam perkara-perkara yang berat, pembunuhan misalnya, menurut saya, itu tidak bisa diselesaikan dengan keadilan restoratif. Tidak semuanya bisa diselesaikan dengan restorative justice," jelasnya.
Menurut Abdul Fickar, kebanyakan penyelesaian kasus secara keadilan restoratif dilakukan pada tindak pidana yang tidak mengakibatkan kematian fisik atau orang.
"Itu berlaku hanya untuk tindak pidana ringan, pencemaran nama baik, penganiayaan yang ringan. Semua itu bisa diselesaikan secara restorative justice, dalam pengertian tidak sampai ke pengadilan," terangnya.
Baca Juga:
Pakar Hukum Pidana Komentari Soal Pembebasan Bersyarat Jessica Wongso
Ia beralasan jika keadilan restoratif diterapkan pada kasus pembunuhan, maka pelaku akan menganggap enteng kasus pembunuhan.
"Nanti orang akan menganggap, oh enak membunuh saja, toh nanti bisa ganti rugi dan kita bayar selesai, dan kita enggak dihukum. Nah, itu yang harus dihindari," ujarnya.
Karena itu, kasus pembunuhan tidak bisa dilakukan dengan keadilan restoratif meskipun pelaku mengaku membunuh dan membayar ganti rugi kepada keluarga korban.
"Itu tetap perkaranya berjalan di pengadilan kalau pembunuhan yang mengakibatkan kematian," ucap Fickar.
Ia mengapresiasi langkah Kejaksaan Agung menghentikan 1.334 kasus pidana dengan keadilan restoratif.
"Restorative justice mengedepankan kerugian yang diderita oleh korban," jelasnya.
Menurutnya, ada tiga keuntungan dari penerapan keadilan restoratif.
"Pertama, si pelaku tidak masuk penjara karena tidak dituntut secara pidana," kata Fickar.
Kedua, lanjutnya, kerugian korban pun bida diakomodasi atau dipenuhi serta bisa dipulihkan.
"Misalnya harus mengeluarkan ongkos di rumah sakit maka itu akan menjadi tanggung jawab pelaku," tegasnya.
Dan ketiga, kata dia, keadilan restoratif akan membuat penyelesaian hukum tidak menjadi berbelit.
"Artinya diselesaikan secara sederhana bahwa ada orang yang bersalah yaitu pelaku. Bahwa ada korban dengan pendekatan restoratif, korban itu bisa dipulihkan kerugiannya tapi proses hukumnya tidak sampai ke pengadilan," pungkasnya.
DIkutip dari Proses penegakan hukum melalui pendekatan keadilan restoratif dalam penyelesaian perkara tindak pidana yang dilakukan Kejaksaan mengacu pada Peraturan Jaksa Agung (Perja) No.15 Tahun 2020.
Sejak dikeluarkannya Perja tesebut, sudah 300 perkara telah dihentikan oleh jaksa di seluruh Indonesia. Sedangkan syarat bagi orang yang “berhak” menerima Restorative Justice adalah:
1. Tindak Pidana yang baru pertama kali dilakukan
2. Kerugian di bawah Rp2.5 juta
3. Adanya kesepakatan antara pelaku dan korban. [qnt]