WahanaNews.co, Jakarta - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang syarat usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) berbuntut kontroversi.
Putusan itu memuat uji materi syarat usia capres-cawapres yang termaktub dalam Pasal 169 huruf q Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Baca Juga:
MK Putuskan Libur 1 untuk 6 Hari dalam UU CiptaKerja Bertentangan dengan UUD
Atas dikabulkannya sebagian uji materi tersebut, seseorang yang belum berusia 40 tahun bisa maju sebagai capres atau cawapres jika punya pengalaman sebagai kepala daerah atau pejabat lain yang dipilih melalui pemilu.
Berkat putusan MK ini, putra sulung Presiden Joko Widodo yang juga Wali Kota Surakarta, Gibran Rakabuming Raka, yang baru berusia 36 tahun dapat maju sebagai cawapres.
Putusan itu menjadi polemik lantaran diketuk oleh Ketua MK Anwar Usman yang merupakan adik ipar Jokowi sekaligus paman dari Gibran. Pascaputusan MK ini, muncul tudingan soal dinasti politik, bahkan nepotisme.
Baca Juga:
MK Kabulkan 70% Tuntutan Buruh, Serikat Pekerja Rayakan Kemenangan Bersejarah dalam Revisi UU Cipta Kerja
Pemeriksaan MKMK
Sedikitnya, ada 20 aduan yang masuk ke MK terkait dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim dalam Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. Seluruh aduan tersebut ditindaklanjuti oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).
Sejak Selasa (31/10/2023) kemarin, MKMK terus melakukan pemeriksaan, baik terhadap pelapor maupun sembilan hakim konstitusi, untuk menemukan titik terang perkara ini.
Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie mengatakan, total ada 11 isu dugaan pelanggaran etik yang diproses pihaknya.
Pertama, terkait Anwar Usman yang tak mengundurkan diri dalam memutus perkara 90/PUU-XXI/2023. Padahal, pemohon perkara 90/PUU-XXI/2023 jelas menyebutkan bahwa dirinya mengajukan uji materi karena khawatir Gibran Rakabuming Raka, Wali Kota Solo yang juga keponakan Anwar Usman, tak bisa berlaga pada Pilpres 2024 karena belum cukup umur.
Kedua, terkait Anwar yang membicarakan perkara syarat usia minimum capres-cawapres di luar ruang sidang. Padahal perkara itu sedang bergulir di MK.
Ketiga, pendapat berbeda (dissenting opinion) hakim konstitusi Saldi Isra dan Arief Hidayat dalam Putusan 90/PUU-XXI/2023 yang mengandung keluh kesah terkait dinamika internal jelang pengambilan putusan.
Keempat, soal hakim konstitusi yang membicarakan masalah internal di luar MK. Sebelumnya, hakim konstitusi Arief Hidayat dalam beberapa kesempatan selepas Putusan 90/PUU-XXI/2023 mengungkapkan sisi emosionalnya terhadap reputasi MK yang menurutnya jatuh ke titik nadir.
Kelima, dugaan kejanggalan dan pelanggaran prosedur terkait pendaftaran perkara nomor 90 yang sempat ditarik, namun batal dicabut, dengan dugaan atas perintah pimpinan.
Keenam, soal pembentukan MKMK yang diduga tak pernah diproses sejak diperintahkan oleh Undang-undang MK hasil revisi atau tahun 2020.
Ketujuh, manajemen pengambilan Putusan 90/PUU-XXI/2023 yang dianggap bermasalah, sebab terdapat dissenting opinion hakim konstitusi Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic yang justru dihitung sebagai alasan berbeda (concurring opinion).
Kedelapan, penggunaan MK sebagai alat politik praktis jelang Pilpres 2024, termasuk di dalamnya dugaan kesengajaan intervensi dari pihak luar.
Kesembilan, bocornya dinamika internal MK ke publik. Ke-10 dan ke-11, adanya dugaan kebohongan Anwar Usman dan dugaan pembiaran oleh delapan hakim konstitusi lain terhadap Anwar yang turut memutus perkara meski terdapat potensi konflik kepentingan di dalamnya.
"Sepanjang menyangkut isu yang dilaporkan kemarin, sudah terang, tapi sekarang tumbuh berkembang baru lagi. Nanti kita nilai di putusan," kata Jimly di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (1/11/2023).
MKMK menyatakan bakal membacakan putusan terkait aduan ini paling lambat pada 7 November 2023, sehari sebelum tenggat pengusulan bakal pasangan capres-cawapres Pilpres 2024 pengganti ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI.
Wacana hak angket
Sementara, dari kalangan Parlemen, muncul ide untuk menggunakan hak angket Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI guna mengusut dugaan kejanggalan putusan MK ini.
Wacana penggunaan hak angket mencuat dalam rapat Paripurna DPR RI, Selasa (31/10/2023), yang diusulkan oleh anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Masinton Pasaribu. Menurut Masinton, Putusan MK 90/PUU-XXI/2023 mengancam konstitusi lantaran diduga mengakomodir kepentingan kelompok tertentu.
“Maka kita harus mengajak secara sadar dan kita harus sadarkan bahwa konstitusi kita sedang diinjak-injak. Kita harus menggunakan hak konstitusional yang dimiliki oleh lembaga DPR,” kata Masinton.
“Saya Masinton Pasaribu anggota DPR RI dari daerah pemilihan DKI Jakarta menggunakan hak konstitusi saya untuk melakukan hak angket," tuturnya.
Masinton pun mengaku akan mengumpulkan dukungan dari anggota DPR lintas fraksi untuk mengusulkan hak angket terhadap MK. Usulan hak angket ini bisa dibawa ke Rapat Paripurna DPR jika mendapat minimal dukungan dari 25 anggota DPR lintas fraksi.
Jalan memutar
Lantas, apakah Majelis Kehormatan MK dan hak angket DPR bisa mengubah Putusan MK 90/PUU-XXI/2023 yang kadung mengutak-atik syarat usia capres-cawapres?
Terkait ini, Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti mengatakan, MKMK tak bisa mengubah Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. MKMK, kata Bivitri, juga tak berwenang mencabut putusan kontroversial tersebut.
Oleh karenanya, apa pun putusan MKMK, tak akan menghentikan langkah Gibran Rakabuming Raka berkontestasi sebagai bakal cawapres pendamping bakal capres Koalisi Indonesia Maju, Prabowo Subianto.
“Secara prinsip sebenarnya putusan MKMK itu apa pun keputusannya tidak akan berpengaruh langsung pada pencalonan Gibran,” kata Bivitri dilansir dari Sapa Indonesia Pagi Kompas TV, Kamis (2/11/2023).
Bivitri menjelaskan, MKMK hanya berwenang menyelidiki dugaan pelanggaran etik para hakim konstitusi terkait Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Nantinya, MKMK akan menyatakan ada atau tidaknya benturan kepentingan para hakim dalam putusan tersebut. Jika ada hakim konstitusi yang terbukti melanggar kode etik, MKMK dapat menerbitkan rekomendasi pemecatan.
“MKMK wewenangnya terbatas pada etik dari orang-orang yang diduga melakukan pelanggaran etik,” terang Bivitri.
Oleh karena putusan MK bersifat final and binding atau final dan mengikat, kata Bivitri, Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 hanya mungkin diubah melalui putusan MK juga.
Saat ini, sudah ada sejumlah uji materi terkait syarat usia capres-cawapres yang bergulir di MK. Sama seperti perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, uji materi ini juga menyoal Pasal 169 huruf q Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Menurut Bivitri, putusan MKMK kelak dapat dijadikan landasan dalam proses uji materi baru ini. Seandainya MKMK menyatakan ada hakim yang terbukti melangga kode etik, bukan tidak mungkin uji materi baru terhadap Pasal 169 huruf q UU Pemilu membatalkan putusan MK sebelumnya.
Oleh karenanya, meski tak dapat mengubah putusan MK, MKMK tetap dapat menjadi salah satu jalan keluar atas kusutnya perkara ini.
“Makanya, jalan memutarnya, menurut saya tetap harus diberikan jalan keluar ini karena secara prinsip secara logika hukum yang harus ada dampaknya terhadap putusan nomor 90. Jadi terhadap putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 itu yang bisa dilakukan adalah MK memeriksa lagi berdasarkan permohonan yang sudah ada,” kata Bivitri.
Feri bilang, lembaga peradilan mana pun bersifat merdeka dan tidak bisa diintervensi lembaga lain. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945.
Oleh karenanya, yang bisa diselidiki DPR lewat hak angketnya terhadap Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 ialah dugaan nepotisme yang belakangan jadi perhatian.
DPR bisa saja menyelidiki dugaan kepentingan pihak-pihak tertentu, seperti presiden, dalam polemik putusan MK ini.
“Kalau pendapat DPR menyatakan ada pelanggaran hukum yang melibatkan presiden, maka presiden yang akan terdampak,” ujar Feri.
Senada dengan Bivitri, Feri menyebut, Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 hanya dapat diubah melalui putusan MK juga. Artinya, harus ada pihak yang mengajukan uji materi ketentuan syarat usia capres-cawapres ke MK.
Ke depan, hasil hak angket DPR dan rekomendasi MKMK dapat dijadikan landasan untuk mengajukan uji materi ketentuan ini ke MK.
“Itu akan menjadi alasan baru untuk mengajukan permohonan. Atau publik bisa juga mengajukan permohonan pengujian kembali dengan alasan berbeda, lalu putusan MKMK dan hak angket dpr bisa jadi alat bukti di dalam persidangan,” jelas peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas ini.
[Redaktur: Amanda Zubehor]