WahanaNews.co | Anggota Komisi II DPR RI Fraksi PAN, Guspardi Gaus, mengungkap alasan pemerintah mengusulkan pemilu digelar 15 Mei 2024 karena khawatir adanya gejolak politik hingga adanya “matahari kembar”.
PKB menilai hal ini mengada-ngada.
Baca Juga:
Soal Hasil Pilpres 2024: PTUN Jakarta Tak Terima Gugatan PDIP, Ini Alasannya
"Mengenai masalah matahari kembar akibat adanya capres-cawapres terpilih dalam rentang waktu cukup lama apabila coblosan Pemilu 21 Februari, menurut saya ini alasan yang mengada-ada," ujar Wakil Ketua Komisi II Fraksi PKB, Luqman Hakim, kepada wartawan, Sabtu (9/10/2021).
Luqman mengatakan, pada Pilkada beberapa kali telah terdapat kepala daerah terpilih yang menunggu dilantik hingga masa jabatan selesai.
Menurut Luqman, hal terbukti ini tidak menimbulkan masalah apapun.
Baca Juga:
KPU Labura Verifikasi Berkas Calon Bupati dan Wakil Bupati di Rantau Prapat: Pastikan Dokumen Sah
"Dalam beberapa kali putaran pilkada hingga 2020 kemarin, banyak daerah yang sudah memiliki kepala daerah terpilih tetapi pelantikannya masih lama menunggu habis masa periode kepala daerah eksisting. Bahkan ada yang hampir satu tahun lamanya dan sama sekali tidak ada gangguan keamanan yang ditimbulkan adanya calon kepala daerah terpilih," tuturnya.
"Dalam perspektif demokrasi, adanya capres-cawapres terpilih bersamaan waktunya dengan Presiden yang sedang memimpin, bukan hal negatif. Keberadaan mereka justru menjadi prasyarat penting terjadinya proses transisi pemerintahan secara damai dan bermartabat," ujarnya.
Dia menyebut, konsep matahari kembar hanya ada dalam budaya kekuasaan monarki atau kekaisaran.
Hal ini berbeda dengan Indonesia yang merupakan negara Demokrasi.
"Konsep matahari kembar yang menimbulkan dampak negatif hanya dikenal dalam budaya kekuasaan negara Monarki dan Kekaisaran. Dan, negara kita tidak menganut sistem monarki maupun kekaisaran. Indonesia adalah negara demokrasi," kata Luqman.
Menurut Luqman, opsi Pemilu 21 Februari 2024 telah diperhitungkan dengan tepat.
Sehingga penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada dapat berjalan sukses.
"Opsi coblosan Pemilu 21 Februari 2024, sudah menghitung dengan detail seluruh tahapan yang diperlukan untuk pelaksanaan Pemilu dan Pilkada agar bisa sukses digelar," tuturnya.
Namun, bila Pemilu dilakukan 15 Mei maka akan memiliki banyak resiko.
Salah satunya penyelesaian sengketa MK yang dapat membuat masyarakat tidak memiliki waktu untuk menyeleksi bakal calon kepala daerah.
"Apabila coblosan Pemilu dilakukan 15 Mei 2024, maka penyelesaian sengketa hasil pemilu oleh MK bisa rampung di dalam bulan September-Oktober 2024. Resikonya, masyarakat dan partai politik sama sekali tidak punya waktu untuk melakukan seleksi bakal calon kepala daerah. Lebih tragis lagi, pendaftaran calon kepala daerah ke KPUD tidak dapat dilaksanakan tepat waktu. Akibatnya, sudah pasti coblosan Pilkada serentak tidak bisa dilakukan di dalam bulan November 2024. Dan, Pilkada pun gagal dilaksanakan," ujarnya.
Sebelumnya, anggota Komisi II DPR RI Fraksi PAN, Guspardi Gaus, mendukung usulan pemerintah terkait jadwal pemilu serentak 15 Mei 2024.
Guspardi mengatakan pemerintah mengusulkan pemilu digelar pada 15 Mei 2024 karena khawatir adanya gejolak politik apabila pilpres digelar di awal tahun, yaitu 21 Februari 2024 sesuai usulan KPU.
"Banyak hal yang disampaikan pemerintah, pertama adalah persoalan kalau seandainya di tanggal 21 Februari dilakukan pileg dan pilpres, utamanya pilpres, itu kan pasti akan menimbulkan gejolak politik, tidak terjadinya harmonisasi terhadap pemerintahan pusat," kata Guspardi dalam diskusi ini.
Sebab, menurut Guspardi, jika pilpres dilaksanakan pada 21 Februari, hasil pilpresnya langsung diketahui masyarakat.
Sementara itu, Presiden Jokowi masih menjabat hingga Oktober 2024, sedangkan apabila presiden terpilih tidak didukung oleh pemerintah, maka diperkirakan akan menimbulkan kegaduhan.
"Karena apa? Karena kalaulah seandainya ketika itu pemilihan presiden tidak berlanjut pada tahap berikutnya, tentu pada saat itu sudah diketahui siapa yang akan menjadi calon presiden, kalaulah itu terjadi, bagaimanapun, kita tidak bisa menafikan tentu ada dua matahari ketika itu, ada yang namanya presiden incumbent, yang namanya Pak Jokowi, yang beliau sudah menyatakan tidak akan maju lagi," kata Guspardi.
"Kemudian ada lagi hasil dari pada Pilpres 21 Februari, apalagi kalau seandainya orang yang maju itu tidak didukung oleh pihak pemerintah, tentu akan menimbulkan dinamika kegaduhan dan sebagaimana. Ini adalah sesuatu yang harus dicatat-diketahui oleh masyarakat," ungkapnya.
Lebih lanjut Guspardi mengatakan selama ini pilpres dilaksanakan pada April.
Tetapi, jika dilaksanakan pada Februari, ada rentang waktu yang panjang sehingga dinilai kurang elok.
Selain itu, persoalan lain misalnya terkait masalah anggaran pemilu.
"Berkaitan dengan masalah finansial, masalah anggaran, di mana pada hari ini kita concern terhadap bagaimana melakukan pembenahan terhadap pandemi Covid-19 yang alhamdulillah pada saat ini sudah mulai membaik dan terhadap ekonomi kita yang sangat morat marit, tentu kita berharap sebagaimana yang saya lansir selama ini, yang diajukan oleh KPU, anggarannya itu adalah Rp 87 triliun, 60 persen kegunaannya adalah untuk honor," ujarnya. [dhn]