WahanaNews.co | Pakar psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel, berpendapat, baku tembak antara Brigadir J dengan Bharada E di rumah Kadiv Propam Polri, Irjen Ferdy Sambo, pada Jumat (8/7/2022) lalu, bukan soal senior atau junior.
Dalam insiden mengerikan itu, Brigadir J, yang bertugas sebagai sopir pribadi istri Irjen Ferdy Sambo, tewas ditembak Bharada E.
Baca Juga:
Jadi Pengacara Putri Candrawathi, Febri Diansyah Dimaki Politisi
Reza pun menyoroti adanya pihak yang berpendapat bahwa "personel berpangkat rendah tidak akan berani melawan personel berpangkat tinggi".
Asumsi itu kemungkinan muncul lantaran Bharada E merupakan juniornya Brigadir J secara kepangkatan di Polri.
Reza, dalam analisisnya, menyebut, kalimat itu mengindikasikan adanya kesadaran yang memungkinkan bekerjanya rasionalitas yang memungkinkan satu pihak menilai pihak lain dan situasi yang dia hadapi.
Baca Juga:
Momen Putri Candrawathi Berbusana “Oranye”
"Agar dapat berpikir rasional, individu membutuhkan waktu yang cukup sehingga pertimbangan (kalkulasi) berjalan dengan normal," kata Reza kepada media, Sabtu (16/7/2022).
Pria yang pernah menjadi pengajar di STIK/PTIK itu mengatakan, personel polisi dilatih untuk terbiasa berpikir secara rasional.
Dengan rasionalitas yang baik, personel akan tahu persis pihak yang tengah dihadapi dan bagaimana dia secara tepat mesti bertindak-tanduk di hadapan pihak tersebut.
Menurut Reza, personel yang rasional akan tampak, misalnya, ketika dia memberikan hormat kepada personel lain yang berpangkat lebih tinggi.
Berpikir secara cermat dan hati-hati itu merupakan system 2 thinking.
Persoalannya, situasi yang personel polisi hadapi tidak selalu ideal, bahkan, sesuai tuntutan situasi, tempo-tempo personel harus berhadapan dengan situasi kritis, genting, ditandai oleh pertaruhan hidup atau mati, terbunuh atau membunuh, ditembak atau menembak.
"Dalam kondisi semaut itu, rasionalitas tidak mungkin dikerahkan, bahkan justru sangat tidak tepat apabila personel yang saat itu tengah bergelut dengan bahaya ekstrem, tetap berpikir rasional," tutur Reza.
Dia mengatakan, dalam kondisi seperti itu, berpikir rasional justru akan berakibat fatal bahkan mematikan.
Dari situ, lanjut Reza, bisa dipahami bahwa perhatian terhadap pangkat dan jabatan tidak akan berfungsi, manakala seorang personel sedang berada dalam kegentingan yang memaksanya untuk mendahulukan keselamatan dirinya di atas hal-hal lain.
"Proses berpikir instan bahkan intuitif itu diistilahkan sebagai system 1 thinking," lanjut penyandang gelar MCrim (Forpsych-master psikologi forensik) dari Universitas of Melbourne Australia itu.
Pria asal Indragiri Hulu, Riau, itu menyebut, dalam situasi tembak-menembak, apalagi dengan jarak dekat, terlebih jika situasi itu sama sekali tidak diduga oleh si personel, sangat kecil kemungkinan personel tersebut akan hirau pada pangkat dan jabatan personel lain yang tengah mengarahkan senjatanya.
Ketika berhadap-hadapan dengan risiko maut sedemikian rupa, katanya, by intuition personel pertama --betapa pun pangkatnya lebih rendah-- akan semata-mata berfokus pada keselamatan dirinya sendiri.
Pada situasi demikian, personel itu tidak bakal hirau pada risiko disiplin organisasi, benturan antarangkatan, hukuman pidana, sanksi sosial, bahkan ancaman pemberhentian tidak dengan hormat, dan hal-hal rasional lainnya.
Jadi, ucap Reza, seorang personel berpangkat rendah dalam situasi tertentu bisa saja menunjukkan "pembangkangan" dan berani berkonfrontasi dengan anggota lain yang berpangkat lebih tinggi atau senior daripada dirinya.
"Situasi tertentu dimaksud adalah situasi yang mengharuskan si personel berpangkat lebih rendah itu untuk secara otomatis berperilaku atas dasar system 1 thinking," kata Reza Indragiri Amriel. [gun]