WahanaNews.co, Pulau Rempang - Bentrokan yang terjadi antara masyarakat adat di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, dan aparat gabungan pada Kamis (7/9/2023) jadi sorotan publik.
Menyikapi konflik tersebut, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD akhirnya memberikan klarifikasi mengenai status tanah di Pulau Rempang.
Baca Juga:
Sebutan 'Yang Mulia' bagi Hakim, Mahfud MD: Sangat Berlebihan
Tidak hanya itu, Mahfud MD juga mengungkap penyebab terjadinya konflik di Pulau Rempang. Menurutnya, ada kesalahan dalam penerbitan izin tanah yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat.
Melansir Tempo, berikut penjelasan Mahfud MD tentang status tanah di Pulau Rempang.
Mahfud menjelaskan bahwa sebenarnya pada tahun 2001-2002, negara telah memberikan hak atas Pulau Rempang kepada sebuah perusahaan dalam bentuk hak guna usaha. Hanya saja, sebelum investor tersebut masuk, tanah di Pulau Rempang tidak pernah diolah dan tidak pernah dikunjungi.
Baca Juga:
Uang Rp 920 Miliar dan 51 Kg Emas di Rumah Eks Pejabat MA, Mahfud: Itu Bukan Milik Zarof!
“Tanah Rempang itu, sudah diberikan haknya oleh negara kepada sebuah perusahaan untuk digunakan dalam hak guna usaha. Sebelum investor masuk, tanah ini rupanya belum digarap dan tidak pernah ditengok,” kata Mahfud.
Mahfud menambahkan bahwa Surat Keterangan (SK) hak guna usaha tersebut telah diberikan secara sah pada tahun 2001-2002. Namun, pada tahun 2004 dan setelahnya, melalui beberapa keputusan, tanah di Pulau Rempang diberikan hak yang baru kepada individu lain untuk ditempati.
Permasalahan baru muncul pada tahun 2022 saat seorang investor berencana untuk masuk. Pemegang hak guna usaha sebelumnya kemudian datang untuk memeriksa tanah di Pulau Rempang. Namun, tak dinyana, tanah tersebut sudah dihuni oleh masyarakat.
Masalah ini juga terkait dengan kekeliruan dalam penerbitan izin yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pusat dalam hal status tanah di Pulau Rempang.
“Nah, ketika kemarin pada tahun 2022 investor akan masuk, yang pemegang hak guna itu datang kesana, ternyata tanahnya sudah ditempati. Maka kemudian, diurut-urut ternyata ada kekeliruan dari pemerintah setempat maupun pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian LHK. Nah, lalu diluruskan sesuai dengan aturan bahwa itu masih menjadi hak, karena investor akan masuk,” kata Mahfud.
Lebih lanjut, Mahfud turut menjelaskan sumber keributan yang terjadi pada masyarakat Pulau Rempang. Menurut dia, konflik yang terjadi bukan disebabkan karena hak atas tanah melainkan proses pengosongannya.
“Nah proses pengosongan tanah ini lah yang sekarang menjadi sumber keributan, bukan hak atas tanahnya ya, bukan hak guna usahanya," tuturnya. "Proses (pengosongannya) karena itu sudah lama, kan. Itu udah belasan tahun, orang di situ tiba-tiba harus pergi."
Ketika ditanya lebih jauh soal jenis kekeliruan yang dilakukan oleh KLHK, Mahfud menjawab pendek bahwa KLHK telah mengeluarkan surat izin penggunaan kepada pihak yang tidak berhak.
“Itu kalau tidak salah sampai lima sampai enam keputusan gitu, dibatalkan semua (akhirnya surat izin KLHK dibatalkan). Karena memang salah sesudah dilihat dasar hukumnya. Sekarang udah banyak investor mau masuk, ternyata tanahnya gak ada. Sehingga harus dikosongkan. Itu saja masalahnya sebenarnya,” tuturnya.
Mahfud menilai sebaiknya masyarakat Pulau Rempang beserta pemegang hak dan investor berdiskusi bersama untuk mengambil keputusan terhadap sejumlah hal, mulai dari uang kerahiman hingga tempat relokasi.
“Tinggal sekarang kan perlu, mungkin uang kerahiman, bukan uang ganti rugi, karena mereka tidak berhak. Uang kerahiman ini dan bagaimana memindahkannya dan ke mana, mungkin itu yang perlu didiskusikan antara pemegang hak bersama investor dan rakyat setempat," ujarnya. Menurut dia, diskusi soal uang kerahiman itu lebih baik dilakukan.
Terakhir, Mahfud memohon agar tindakan pengosongan lahan tidak diiringi oleh tindakan kekerasan, kecuali dalam situasi yang mendesak.
Ia juga menekankan bahwa konflik yang terjadi antara masyarakat Pulau Rempang bukan disebabkan oleh penggusuran, melainkan pengosongan lahan.
"Harapannya adalah agar dipahami oleh masyarakat bahwa ini bukan kasus penggusuran, melainkan memang pengosongan karena tanah tersebut akan digunakan oleh pemegang haknya. Yang perlu dipertimbangkan adalah sejauh mana kebijaksanaan dan kemana pemindahannya akan dilakukan. Kekerasan tidak boleh digunakan kecuali dalam situasi yang memerlukan tindakan tegas," ujar Mahfud MD.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]