WahanaNews.co | Anggota Dewan Pembina Perkumpulan
untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menilai, pihak-pihak yang menolak revisi Undang-Undang Pemilu tengah
mengalami amnesia elektoral.
Pasalnya,
menurut Titi, hampir semua pihak sebelumnya menyatakan penyelenggaraan Pemilu
2019 lalu perlu dievaluasi, karena telah menyebabkan banyak masalah.
Baca Juga:
Revisi UU Pemilu, Perludem: KPU Cuma Membeo
"Ini
ada amnesia elektoral. Ketika lepas dari Pemilu
2019, hampir semua pihak saat melakukan audit dan evaluasi menyatakan Pemilunya
sangat berat, sangat membelah, dan kemudian menjauhkan pemilih dari politik
gagasan dan program. Tapi sekarang,
tiba-tiba tidak menghendaki adanya perubahan kebijakan atau revisi
Undang-Undang Pemilu," kata Titi, dalam sebuah diskusi yang digelar Fraksi NasDem,
Kamis (4/2/2021).
Titi
menuturkan, penguatan dan perbaikan kebijakan terkait Pemilu merupakan sebuah
keniscayaan yang tidak bisa dihindarkan.
Titi pun
berpendapat, alasan pihak-pihak yang menolak revisi UU Pemilu hanya
dilatarbelakangi pada kepentingan elektoral semata.
Baca Juga:
Jadwal Pilkada: Tumben, Fadli Zon Amini Isyarat Jokowi
Beberapa
di antaranya, wacana menormalisasi pelaksanaan Pilkada menjadi tahun 2022 dan 2023,
perubahan ambang batas parlemen, dan pengecilan daerah pemilihan.
"Tiga
alasan itu yang membuat kalkulasi politik para pihak, yaitu pemerintah dan partai
politik, menjadi argumen untuk menolak revisi atau pembahasan RUU
Pemilu yang sudah bergulir di DPR," kata dia.
DPR kini tengah
menggodok revisi Undang-Undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu). RUU ini masuk dalam
daftar 33 RUU Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2021.
Komisi
II DPR mengusulkan revisi UU Pemilu ini ke Badan Legislasi (Baleg) pada Senin
(16/11/2020), dengan alasan bahwa terjadi tumpang tindih pasal dalam UU
Pemilu dan UU Pilkada.
Adapun
di dalam draf sementara RUU Pemilu, terdapat perubahan ketentuan terkait ambang batas parlemen
atau parliamentary threshold (PT), yakni
Pasal 217 yang mengatur PT sebesar 5 persen.
Kemudian,
Pasal 566 dan Pasal 577 diatur bahwa ambang batas DPRD Provinsi ditentukan
sebesar 4 persen dari suara sah nasional.
Sedangkan
untuk ambang batas DPRD Kabupaten/Kota sedikitnya 3 persen. [qnt]