Di mana setiap pengguna internet (netter) atau warga pengguna jaringan internet (netizen) secara leluasa boleh berperilaku membabi buta, memaki, memfitnah dan mencemarkan nama baik pihak lain tanpa disertai data dan informasi akurat, sebagaimana yang diungkapkan para saksi yang diajukan Pemerintah dalam persidangan. Dengan demikian, sebagaimana di dalam dunia nyata, kebebasan bagi pengguna internet atau warga pengguna jaringan internet adalah kebebasan yang bertanggung jawab.
"Mahkamah berpendapat, dalil Pemohon yang menyatakan bahwa rumusan Pasal a quo bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum, adalah tidak beralasan," ucap majelis.
Baca Juga:
MK Putuskan Libur 1 untuk 6 Hari dalam UU CiptaKerja Bertentangan dengan UUD
Soal ketakutan Pasal 27 ayat (3) UU ITE berpotensi disalahgunakan, MK menilai sebaliknya.
MK menyatakan potensi penyalahgunaan justru lebih besar dilakukan oleh pihak-pihak yang bermain di ranah dunia maya daripada penyalahgunaan yang dilakukan oleh penegak hukum dengan alasan bahwa keunggulan dalam dunia teknologi dan informasi yang ditandai dengan kecepatan dalam transfer data, informasi dan karakter yang sangat terbuka, serta hamper tanpa batas.
"Di sisi lain dapat juga menimbulkan dampak negatif yang ekstrim apabila norma-norma hukum, norma-norma agama, dan norma-norma moral ditinggalkan oleh para pengguna dunia maya," urai MK.
Baca Juga:
MK Kabulkan 70% Tuntutan Buruh, Serikat Pekerja Rayakan Kemenangan Bersejarah dalam Revisi UU Cipta Kerja
Oleh karenanya semakin tinggi kemampuan seseorang dalam berinteraksi secara cepat maka semakin tinggi pula tuntutan kehati-hatian karena tidak adanya penyaring atau pembatas yang dapat menangkal nilai-nilai negatif (self-censorship) ketika berinteraksi dengan pihak lawan interaksi.
"UU ITE telah memberikan batasan sisi-sisi yang merupakan domain publik dan sisi-sisi yang melanggar hak-hak privasi orang lain," urai MK tegas.
Ketakutan Pasal 27 ayat (3) UU ITE mempunyai efek jangka panjang yang menakutkan juga ditampik MK.