WahanaNews.co | Semakin banyak pengendara sepeda
motor yang menggunakan knalpot aftermarket
terjaring razia knalpot bising.
Padahal,
tidak ada aturan yang mengatur tentang baku mutu suara knalpot aftermarket di jalan.
Baca Juga:
Polisi Tembak Polisi di Solok Selatan, Kasus Masih dalam Penyelidikan
Perlu
diingat, pihak kepolisian juga sudah mengakui bahwa metoda yang
digunakan saat razia knalpot bising dengan menggunakan sound level meter atau decible meterdianggap kurang tepat.
Selama
ini, dasar hukum yang dipakai adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Nomor P.56 Tahun 2019 Tentang Baku Mutu Kebisingan Kendaraan Bermotor
Tipe Baru dan Kendaraan Bermotor yang Sedang Diproduksi Kategori M, Kategori N,
dan Kategori L.
Dalam
peraturan tersebut, dituliskan bahwa untuk motor berkubikasi 80-175 cc,
maksimal bising 80 dB dan di atas 175 cc maksimal bising 83 dB.
Baca Juga:
Melawan dengan Senjata, Begal Sadis Ditembak Mati di Deli Serdang
Padahal,
baku mutu atau ambang batas suara tersebut diperuntukkan kendaraan yang belum
diluncurkan alias untuk type approval
atau untuk kebutuhan uji tipe semata.
Kasi
Gar Subdit Gakkum Ditlantas Polda Lampung, Kompol Poeloeng Arsa Sidanu, pada
akun YouTube Siger Gakkum Official,
sudah menjelaskan mengenai kesalahpahaman tersebut.
"Saya
dan kami dari Siger Gakkum Official menyampaikan permohonan maaf
sebesar-besarnya kepada seluruh masyarakat dan petugas polisi lalu lintas di
jalan terkait pengukuran kebisingan yang sudah kita sampaikan di video atau
konten sebelumnya, bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Nomor 56 tahun 2019 itu tidak berlaku untuk di jalan," ujar
Poeloeng, dalam videonya.
Poeloeng
menambahkan, peraturan Menteri LHK tersebut berlaku untuk kendaraan bermotor yang
diproduksi yang akan dijual ke konsumen di diler.
Jadi,
pengukuran kebisingan berdasarkan batas desibel dengan menggunakan decibel
meter di jalan atau disebut in used
oleh konsumen di jalan, itu peraturannya belum ada.
"Jadi,
pengukuran yang dibuat di dalam video kemarin itu tidak berlaku lagi. Sebab,
berdasarkan Permen yang keliru atau tidak sesuai," kata Poeloeng.
Wisnu
Eka Yulyanto, Kabid Metrologi dan Kalibrasi Puslitbang Kualitas dan
Laboratorium Lingkungan (P3KLL) Badan Litbang dan Inovasi (BLI) Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan (KLHK), mengatakan, memang ada kesalahan dalam konteks
penggunaan Permen No. 56 Tahun 2019.
"Sebelumnya,
itu memang pengganti dari Permen No. 7 tahun 2009. Jadi, sebenarnya Permen itu
digunakan untuk kendaraan bermotor baik roda dua atau roda empat untuk type aproval atau yang belum launching. Jadi, di mana APM akan
mengeluarkan kendaraan baru, dia harus melakukan uji tipe," ujar Wisnu.
Wisnu
mengatakan, dalam uji tipe itu dikenakan baku mutu yang disesuaikan dengan
lampiran di Permen No. 56 Tahun 2019.
Sebenarnya,
cara mengukurnya juga ada di sana. Pengukuran dan peralatan yang digunakan juga
cukup kompleks.
Dalam
video, pengukuran yang dilakukan pada motor standar 96 dB.
Perlu
diingat, hasil pengukuran tersebut pada motor standar dengan knalpot standar
dan sudah menggunakan alat ukur yang canggih oleh pihak KLHK.
Itu
saja sudah melanggar baku mutu jika menggunakan dasar hukum Permen No. 56 tahun
2019.
Untuk
itu, tidak tepat jika Permen tersebut digunakan sebagai acuan untuk mengukur
knalpot bising saat razia di pinggir jalan.
Meski
demikian, sekarang ini pihak kepolisian masih bisa menindak para pengguna
knalpot aftermarket berdasarkan
aturan pada Pasal 285 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ).
Pasal
tersebut berbunyi, setiap pengendara sepeda motor yang tidak memenuhi
persyaratan teknis dan laik jalan, seperti spion, lampu utama, lampu rem, klakson, pengukur
kecepatan, dan knalpot, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan atau
denda paling banyak Rp 250.000.
Knalpot
yang bukan standar pabrikan disebut tidak memenuhi persyaratan teknis dan laik
jalan.
Sebab,
knalpot standar sudah melewati tahap uji tipe, maka itu sesuai dengan aturan
yang berlaku. [dhn]