WahanaNews.co | Di mata Khoirul Umam, Managing Director of Paramadina Democracy Forum (PDF), partai politik berbasis Islam bakal menjadi pengikut dalam pembentukan poros koalisi di Pilpres 2024.
"Partai politik Islam belum siap menjadi imam, dan tetap berada di posisi makmum menuju terbentuknya poros koalisi di Pemilu 2024," kata Umam dalam diskusi publik PDF bertajuk 'Peran dan Tantangan Partai Politik Islam Menuju Pemilu 2024', Selasa (19/4/2022).
Baca Juga:
Anies Gagal Maju Pilkada Jakarta, RK-Suswono Resmi Didukung 15 Partai
Menurutnya, sampai sekarang belum ada figur atau tokoh dari parpol berlatar belakang Islam, yang punya elektabilitas mumpuni dan dapat menjual di masyarakat.
"You name it, ketua umum partai mana, tokoh yang mana, belum ada," tuturnya.
Untuk itu, Umam meyakini pada Pilpres 2024, parpol-parpol Islam masih akan mengekor dalam pembentukan poros koalisi. Ia menyebut parpol-parpol tersebut masih menjadi makmum.
Baca Juga:
PKS Anggap Wajar Pembagian Jabatan Komisaris untuk Partai Pemenang Pilpres
Umam juga melihat faksionalisme masih akan kuat ke depan. Hal itu membuat tak adanya formula yang bisa menyatukan parpol-parpol berbasis Islam.
"Jadi, kalau misal ada yang menyatakan misalnya potensi poros islam, itu bagian dari utopia dalam proses demokrasi di Indonesia saat ini, setidaknya sampai hari ini," ulasnya.
Mungkin tapi Sulit Terjadi
Ketua DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi mengatakan, situasi politik di partai Islam sangat sulit untuk memastikan koalisi poros partai Islam di Pemilu 2024 terjadi.
“Situasi politik di partai Islam di Indonesia sendiri, sangat sulit untuk bisa sebuah gagasan yang fobia, misalkan kalau ada keinginan mewacanakan poros Islam,” kata Awiek, sapaan karibnya.
Meski begitu, jika melihat demografi dan kategorisasi pemilih Indonesia yang dominan muslim, Wakil Ketua Baleg DPR itu menyebut koalisi poros Islam ini sangat mungkin terjadi.
“Pertanyaan kemudian, kita mau gagah-gagahan menggagas koalisi tapi ternyata kalah, atau kita ingin menang? Itu saja sebenarnya yang dihadapi oleh parpol,” ulasnya.
Dia mengungkapkan, bahkan suara PPP terus menyusut dalam beberapa kali pemilu.
Dia mengambil contoh ketika lima kali pemilu di Orde Baru dan lima kali pemilu di era reformasi. Terlebih, saat NU kembali ke khittah sebagai organisasj masyarakat.
“Muktamar NU di Situbondo, NU kembali ke khittah, artinya NU bukan hanya di PPP tapi berdiaspora ke partai-partai lain."
"Akibatnya, seluruh penurunan suara PPP dari 27,78 persen menjadi 15,96 persen."
"Selalu ada momentum yang mengiringi naik turunnya suara parpol,” beber Awiek. [rin]