Banyak video anak anak sedang latihan fisik dan latihan perang menggunakan senjata, ada video anak yang siap meledakan dirinya dikantor polisi karena dianggap taghut dan yakin akan mati syahid masuk surga, ada juga video tayangan anak membakar paspor dan identitasnya. Ini termasuk salah satu faktor yang menginspirasi mereka.
“Ada juga anak SMP yang terpapar dan tertarik dengan paham radikalisme karena awalnya dilingkungan sekolah selalu di bully oleh temen temen di kelasnya, karena sakit hati akhirnya ya ingin balas dendan dengan belajar materi materi radikalisme dan terorisme di medsos,” terang Ken.
Baca Juga:
Diduga Terlibat Terorisme, Siswa 19 Tahun di Gowa Ditangkap Saat Beli Air Galon
Bahkan Ken mengaku pernah mendapat laporan dari salah satu Pesantren Tahfidz Quran di Bogor kalau seluruh santri yang jumlahnya ratusan telah di rekrut dan dibaiat semua oleh pimpinan pesantren kepada Negara Islam Indonesia (NII).
“Tapi karena belum melakukan tindakan terorisme, baru dianggap sebatas paham pemikiran radikal maka pesantren terlapor, pimpinan dan santrinya tersebut tidak bisa di tindak oleh Densus 88,” jelas Ken.
Di era digital saat ini, sambung dia, radikalisme kini tak lagi menyebar lewat pertemuan-pertemuan rahasia, tapi saat ini lewat ponsel dan media sosial, dan rata rata anak SMP yang terpapar terorisme itu direkrut melalui media sosial.
Baca Juga:
Tiga Alasan Strategis di Balik Dukungan Israel terhadap India: Dari Terorisme hingga Geopolitik
“Ancaman itu sekarang ada dalam genggaman. Sangat mengerikan, maka perlu kontrol orang tua, dan kita harus pesankan ke anak, jika menerima berita harus tabayun, jangan menelan mentah-mentah informasi,” pesannya.
Ia mengingatkan paham radikalisme dan terorisme itu seperti virus. Bisa menyerang siapa saja, tanpa pandang usia, pendidikan, bahkan profesi.
Ken pun mengaku prihatin karena sosialisasi pencegahan bahaya radikalisme dan terorisme sangat minim, bahkan nyaris tidak ada karena terkendala efisiensi anggaran.