WAHANANEWS.CO, Jakarta - Pendiri Negara Islam Indonesia (NII) Crisis Center atau Pusat rehabilitasi Korban NII, Ken Setiawan, mengingatkan aparat keamanan dan masyarakat untuk tidak lengah terhadap potensi bahaya paham radikalisme dan aksi terorisme.
Target perekrutan pelaku terorisme saat ini bukan hanya pelajar ditingkat SMA dan Mahasiswa, tapi pelajar SMP juga sudah menjadi incaran perekrutan radikalisme dan terorisme.
Baca Juga:
Tiga Alasan Strategis di Balik Dukungan Israel terhadap India: Dari Terorisme hingga Geopolitik
Ken mengaku awalnya tidak percaya ketika mendapatkan laporan dari masyarakat kalau ada siswa SMP yang terpapar terorisme yang telah amankan oleh Densus 88.
“Bahkan jaringan teroris kelompok anak SMP ini jumlahnya sudah mencapai puluhan dan tersebar di seluruh di Indonesia, mereka punya group tertutup di medsos. Ini sangat mengerikan,” ujar Ken dalam keteranganya, Kamis (29/5/2025).
Ken menjelaskan, anak-anak SMP yang terpapar terorisme ini sebenarnya adalah anak anak yang cerdas.
Baca Juga:
Inggris Tangkap Delapan Tersangka Terorisme dalam Dua Operasi Terpisah
Sebagai contoh ketika alat komunikasi mereka yaitu hp di sita oleh keluarga dan diganti hp baru, berharap dia tidak lagi dapat berkomunikasi dengan jaringan mereka, tapi ternyata semua nomer dan email masih diingat.
Kemudian disimpan kembali dan bisa login juga ke emailnya di hp yang baru, anak tersebut juga lansung memberitakan kepada jaringan lain di group kalau dirinya telah tertangkap oleh tim Densus 88.
Rata-rata, video yang di tonton oleh anak-anak yang terpapar terorisme ini adalah tayangan konflik didaerah perang seperti di Suriah dan Palestina.
Banyak video anak anak sedang latihan fisik dan latihan perang menggunakan senjata, ada video anak yang siap meledakan dirinya dikantor polisi karena dianggap taghut dan yakin akan mati syahid masuk surga, ada juga video tayangan anak membakar paspor dan identitasnya. Ini termasuk salah satu faktor yang menginspirasi mereka.
“Ada juga anak SMP yang terpapar dan tertarik dengan paham radikalisme karena awalnya dilingkungan sekolah selalu di bully oleh temen temen di kelasnya, karena sakit hati akhirnya ya ingin balas dendan dengan belajar materi materi radikalisme dan terorisme di medsos,” terang Ken.
Bahkan Ken mengaku pernah mendapat laporan dari salah satu Pesantren Tahfidz Quran di Bogor kalau seluruh santri yang jumlahnya ratusan telah di rekrut dan dibaiat semua oleh pimpinan pesantren kepada Negara Islam Indonesia (NII).
“Tapi karena belum melakukan tindakan terorisme, baru dianggap sebatas paham pemikiran radikal maka pesantren terlapor, pimpinan dan santrinya tersebut tidak bisa di tindak oleh Densus 88,” jelas Ken.
Di era digital saat ini, sambung dia, radikalisme kini tak lagi menyebar lewat pertemuan-pertemuan rahasia, tapi saat ini lewat ponsel dan media sosial, dan rata rata anak SMP yang terpapar terorisme itu direkrut melalui media sosial.
“Ancaman itu sekarang ada dalam genggaman. Sangat mengerikan, maka perlu kontrol orang tua, dan kita harus pesankan ke anak, jika menerima berita harus tabayun, jangan menelan mentah-mentah informasi,” pesannya.
Ia mengingatkan paham radikalisme dan terorisme itu seperti virus. Bisa menyerang siapa saja, tanpa pandang usia, pendidikan, bahkan profesi.
Ken pun mengaku prihatin karena sosialisasi pencegahan bahaya radikalisme dan terorisme sangat minim, bahkan nyaris tidak ada karena terkendala efisiensi anggaran.
Padahal hal itu penting sekali untuk membentengi masyarakat khsususnya kalangan muda agar jangan terpapar paham radikalisme dan terorisme.
Ken bersama kawan kawan mantan yang tergabung di NII Crisis Center pun tak menyerah, dengan segala keterbatasan, dirinya tetap bergerak semampunya dengan melakukan sosialisasi ke masyarakat dan membuka laporan pengaduan masyarakat di hotline WA 0898-5151-228
“Kami berharap, pemerintah melalui Kementerian dan Lembaga terkait tidak menutup mata terhadap fakta yang terjadi tentang perekrutan radikalisme dan terorisme di kalangan remaja ini, sebab mereka adalah calon penerus generasi dan harapan bangsa di masa depan,” tutup Ken.
[Redaktur: Alpredo Gultom]