WahanaNews.co | Tepat 37 tahun silam, 12 September 1984, terjadi kerusuhan Priok, atau Peristiwa Tanjung Priok, yang merenggut 24 nyawa.
Tragedi ini menjadi diingat karena merupakan salah satu peristiwa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) tingkat berat yang terjadi akibat aparat keamanan bertindak berlebihan dalam menghadapi aksi demonstrasi masyarakat.
Baca Juga:
Operasi Seroja Timtim: Komandan Pasukan Gugur di Pelukan Prabowo
Peristiwa Tanjung Priok bermula saat masyarakat, terutama di Jakarta, menolak penerapan Pancasila sebagai asas tunggal yang dimunculkan Presiden Soeharto.
Asas Tunggal Pancasila
Baca Juga:
Saat Teroris Noordin M Top Tewas di Solo
Dilansir dari pemberitaan media pada Jumat (3/8/2021), pada dekade 1980-an itu, upaya menerapkan Pancasila sebagai asas tunggal sedang gencar-gencarnya dilakukan oleh Pemerintah Orde Baru.
Namun, kebijakan ini kemudian menuai protes di masyarakat.
Salah satu kelompok yang kerap memberi kritik adalah Petisi 50.
Kelompok ini terdiri dari sejumlah tokoh bangsa, seperti Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin; mantan Kapolri, Jenderal Purn Hoegeng Imam Santoso; mantan Perdana Menteri, Burhanuddin Harahap; dan eks pemimpin Masyumi, Mohammad Nasir.
Mereka menilai, Soeharto mempolitisasi Pancasila.
Demonstrasi penolakan terhadap Pancasila sebagai asas tunggal bersumber pada aksi kekerasan dan penahanan terhadap empat warga, yakni Achmad Sahi, Syafwan Sulaeman, Syarifuddin Rambe, dan Muhammad Nur.
Empat orang ini ditahan karena terlibat dalam aksi pembakaran sepeda motor Babinsa pada 10 September 1984.
Saat itu, Sersan Hermanu, anggota dari Bintara Pembina Desa, menyuruh pengurusnya, Amir Biki, untuk menghapus brosur dan spanduk yang berisi tulisan kritik kepada pemerintah.
Tetapi, Biki menolak hal tersebut.
Akhirnya, Hermanu memutuskan untuk melakukannya sendiri.
Ia memasuki area masjid tanpa melepas alas kakinya.
Hal ini membuat warga yang dipimpin pengurus masjid, Syarifuddin Ramde dan Sofwan Sulaeman, membakar motor dan menyerang Hermanu.
Aparat Hujani Massa dengan Timah Panas
Dua hari pasca-penangkapan, ulama Islam Abdul Qodir memberikan khotbah mengenai asas tunggal Pancasila di Masjid As Saadah.
Diketahui, Amir Biki merupakan jemaah Mushala As Saadah.
Kemudian, Biki mempimpin sebuah demonstrasi ke kantor Kodim Jakarta Utara, tempat keempat orang tersebut ditahan.
Akan tetapi, upaya Biki tidak ditanggapi dengan baik.
Biki dan sejumlah demonstran dihadang oleh aparat keamanan di depan Polres Jakarta Utara.
Aparat keamanan berusaha melakukan tindakan persuasif untuk membubarkan massa.
Tetapi, saat itu massa tidak dapat dibubarkan karena tuntutan belum dipenuhi.
Menurut Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, LB Moerdani, dari arah massa yang berdemonstrasi terdapat sejumlah provokator yang membawa senjata tajam dan bensin.
Hal ini yang menjadi alasan bagi aparat keamanan untuk bertindak tegas, bahkan brutal.
Aparat sudah melayangkan tembakan peringatan, namun tidak digubris oleh demonstran.
Akhirnya, aparat melakukan langkah terakhir.
Aparat menghujani massa dengan timah panas dan mengakibatkan banyak korban berjatuhan.
Komnas HAM mencatat, korban tewas sebanyak 24 orang, dan 55 orang luka-luka.
Pasca-Peristiwa
Masih dari sumber yang sama, Rabu (12/9/2018), setelah tragedi tersebut, banyak orang menyayangkan atas tindakan yang dilakukan aparat.
Muncul pendapat bahwa tindakan tersebut merupakan peristiwa yang melanggar HAM dan harus segera diselesaikan.
Kemudian, kasus itu berlanjut kepada sidang subversi.
Sejumlah orang diadili atas tuduhan melawan pemerintah yang sah.
Terdakwa seperti Salim Qadar dijatuhi hukuman 20 tahun penjara dan Tonny Ardie harus menerima kurungan selama 17 tahun 6 bulan.
Selain mereka, terdapat terdakwa lain seperti Ratono, yang didakwa telah merongrong dan menyelewengkan ideologi serta haluan negara yang salah.
Di sisi lain, terbentuk Komisi Penyelidik Pemeriksa dan Pelanggaran HAM Tanjung Priok (KP3T).
Pembentukan KP3T untuk melakukan penyelidikan kasus pelanggaran HAM karena mendapat tekanan serius dari berbagai pihak untuk segera mengusut tuntas tragedi berdarah itu.
Mereka mendapatkan sejumlah laporan seperti kesewenang-wenangan dari pihak aparat terhadap korban, aparat melakukan penangkapan dan penahanan di luar proses hukum terhadap seseorang yang dicurigai ikut dalam insiden.
Kemudian, adanya penghilangan paksa yang terjadi selama selang waktu 3 bulan sejak peristiwa 12 September 1984.
Saat itu, korban ditangkap dan ditahan secara semena-mena tanpa surat pemberitahuan kepada pihak keluarga dan tanpa alasan yang jelas.
Laporan lain yakni ditemukan ketidakjujuran selama prosesi persidangan.
Hasil dari KP3T menyebutkan nama-nama yang terlibat dalam aksi pelanggaran HAM itu yakni Babinsa, Kesatuan Arhanud, Koramil Koja, Polres Jakarta Utara, dan beberapa perwira tinggi selama kejadian itu.
Lantaran termasuk pelanggaran HAM berat, pemerintah diminta untuk menuntaskan kasus itu.
Kasus akhirnya dianggap sudah diselesaikan melalui proses mediasi dan islah yang panjang.
Dari kerusuhan ini, setidaknya terdapat 169 warga sipil ditahan tanpa surat perintah.
Para pemimpin juga ditangkap dan diadili. [dhn]