WahanaNews.co, Jakarta - Staf General Affair perusahaan perwakilan Harvey Moeis, PT. Refined Bangka Belitung (RBT) Adam Marcos mengakui terdapat 456 transaksi dengan PT. Timah Tbk terkait pembelian bijih timah senilai Rp 183 Miliar.
Hal tersebut diungkap Marcos saat menjadi saksi dalam kasus dugaan korupsi terkait pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah IUP di PT Timah Tbk tahun 2015-2022.
Baca Juga:
Terkait Korupsi KA, Kejagung Periksa Tiga Mantan Kepala BTP Sumbangut
Mulanya, Marcos mengaku diminta Direktur Utama PT RBT Suparta untuk membantu PT Timah mewakili PT RBT untuk meningkatkan produksi timah.
Marcos kemudian membantu dengan melakukan pembinaan penambang ilegal di IUP PT Timah yang meminta pembayaran pembelian bijih timah dilakukan secara cash. Hal tersebut dilakukan setelah Adam bertemu dengan pihak PT. Timah dan mengecek wilayah IUP.
"Saudara diberi uang oleh Pak Suparta untuk modal tadi itu kan Pak, untuk katanya membina?" tanya ketua majelis hakim Eko Aryanto di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (12/9) melansir CNN Indonsia.
Baca Juga:
Korupsi Tata Niaga PT Timah, 3 Eks Kadis ESDM Babel Dituntut 6 Hingga 7 tahun Penjara
"Membina penambang liar yang di IUP PT Timah," jawab Marcos.
Marcos mengaku diberi modal Suparta senilai Rp 11,5 miliar untuk membantu peningkatan produksi PT Timah dengan melakukan pembinaan dan pembelian bijih timah dari penambang.
"Rp 1,5 miliar kemudian berapa?" tanya hakim.
"Rp 10 (miliar)," jawab Marcos.
"Terus berapa lagi?" tanya hakim.
"Udah," jawab Marcos.
Marcos lalu mengaku ada transaksi sebanyak 456 kali dengan PT Timah senilai Rp 183 miliar terkait pembelian bijih timah.
"Apa benar ini April sampai Desember (2018)? Ini kan data tadi ini, data yang saya ditunjukkan tadi ada 456 apa ya ini, bisa dibilang transaksi atau apa ini?" tanya hakim.
"Benar, Yang Mulia," jawab Marcos.
"Senilai Rp 183 miliar?" tanya hakim.
"Benar, Yang Mulia," jawab Marcos.
Lalu, Marcos menyebut pembayaran dari PT Timah itu diberikan ke kolektor bijih timah yang berbentuk CV dan penambang perorangan.
"Dari situ kemudian mengumpulkan dari penambang? Ada penambang liar dan ada penambang IUP PT Timah? Seperti itu?" tanya hakim.
"Iya," jawab Marcos.
"Kemudian yang Rp 183 (miliar) tadi itu yang membayarkan siapa? Kan harga pembelian PT Timah? Ya? Saudara tahu?" tanya hakim.
"Saya, Yang Mulia," jawab
"Jadi oleh PT Timah itu dibayarkan ke siapa?" tanya hakim.
"Dari PT Timah," jawab Marcos.
"Kolektor?" tanya hakim.
"Kolektor," timpal Marcos.
"Saudara tadi menyebutkan kolektor bisa CV bisa perseorangan?" tanya hakim.
"Iya," jawab Marcos.
Akan tetapi, Marcos sempat terdiam ketika diminta Hakim untuk membeberkan CV apa saja yang menerima pembayaran pembelian bijih timah itu.
Hakim pun memperingatkan Marcos bahwa dirinya dilarang berbohong karena telah disumpah. Hakim mengancam Marcos dapat menjadi terdakwa jika berbohong.
"CV itu CV apa?" tanya hakim.
"Udah saudara di sini ada keterangannya, Saudara sudah saya ingatkan ya Saudara harus memberikan keterangan yang benar, karena sudah disumpah. Kalau enggak saudara nanti duduk di situ juga," tegur hakim.
"Maaf Yang Mulia," jawab Marcos.
"Loh enggak, ceritakan apa adanya?" timpal hakim.
"Iya," jawab Marcos.
Marcos lalu menyebut pembayaran itu dilakukan kepada CV Bangka Karya Mandiri dan kepada banyak penambang perorangan.
Namun, Marcos mengklaim tidak tahu CV selain Bangka Karya Mandiri yang juga menerima pembayaran itu.
Marcos juga mengklaim tidak tahu nilai keuntungan yang diperoleh PT. Timah atas transaksi jual beli timah tersebut.
"Saya tidak tahu Yang Mulia, kalau yang setelah itu balik lagi buat putaran lagi. Jadi saya nggak tahu sampai akhirnya untung atau rugi, saya tidak tahu, Yang Mulia," jawab Marcos.
Dalam perkara ini, terdakwa Harvey Moeis didakwa merugikan keuangan negara sejumlah Rp300,003 triliun terkait kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah IUP PT Timah Tbk tahun 2015-2022.
Laporan Hasil Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi Tata Niaga Komoditas Timah di Wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) di PT Timah Tbk Tahun 2015 sampai dengan Tahun 2022 Nomor: PE.04.03/S-522/D5/03/2024 Tanggal 28 Mei 2024 dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Republik Indonesia (BPKP RI).
Tindak pidana itu dilakukan Harvey bersama dengan sejumlah terdakwa lain seperti crazy rich Pantai Indah Kapuk (PIK) Helena Lim; Direktur Utama PT Refined Bangka Tin sejak tahun 2018 Suparta; hingga Direktur Pengembangan Usaha PT Refined Bangka Tin sejak tahun 2017 Reza Andriansyah.
Harvey dan Helena disebut menerima Rp420 miliar. Harvey didakwa melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Selain itu, Harvey juga didakwa melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 atau 4 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 55 ayat (1) KUHP.
[Redaktur: Alpredo Gultom]