WahanaNews.co | Pegiat media sosial, Denny Siregar, dalam program Timeline di kanal YouTube “Cokro TV”, membahas soal agenda tahunan yang terus menerus dibangun oleh kubu oposisi sejak Jokowi memenangi Pemilu pertamanya di tahun 2014, yakni nonton bareng film Pemberontakan G30S/PKI.
“Saya paham sejak awal, konsep nobar tahunan ini memang sengaja dibuat oleh kubu oposisi untuk membangun ketakutan di masyarakat bahwa di sekeliling kita ini sekarang komunis sedang berkeliaran,” kata Denny dalam tayangan YouTube yang diunggah Senin (27/9/2021), dan dilihat WahanaNews pada Rabu (29/9/2021).
Baca Juga:
Soal Iriana Tidak Pernah Hadir Melayat, Denny Siregar: Gak Usah Sok Tahu!
Menurutnya, ini adalah “strategi politik” mereka, bukan karena menghormati pahlawan bangsa.
“Buat para oposisi yang bolak balik kalah itu, narasi menakut-nakuti lebih afdol dipakai daripada menyumbang ide atau strategi untuk membangun negeri,” tandasnya.
Lagipula, lanjut Denny, mereka juga memang tidak punya ide atau strategi apapun untuk membangun negeri, karena semua sudah dilakukan oleh Presiden Jokowi.
Baca Juga:
Tanggapi Ijazah Palsu Jokowi, Denny Siregar: Sebodoh Isu Kancing Jas
Lalu, ia membedah kenapa program tahunan nobar itu harus mereka lakukan dan goreng setiap tahun?
Pertama, untuk membangun narasi kekuatan Islam melawan komunis.
“Jadi selama ini, mereka selalu mengklaim bahwa kelompok mereka ini lebih ‘Islam’ daripada yang lainnya, bahkan dari NU dan Muhammadiyah, organisasi Islam besar yang sudah lahir sejak zaman sebelum kemerdekaan,” paparnya.
Dengan klaim sebagai kelompok yang paling “Islam” inilah mereka kemudian membangun narasi bahwa musuh terbesar Islam adalah komunis, dengan merunut jejak sejarah ketegangan besar antara Partai Komunis Indonesia dan beberapa ormas Islam di Indonesia.
“Di sini lucu sebenarnya, karena kalau pengen klaim kemenangan ‘Islam’ terhadap komunisme, yang berhak mengklaim itu seharusnya NU dan Muhammadiyah, yang jelas-jelas pada saat itu berhadapan langsung dan menjadi korban dari kekejaman PKI di beberapa daerah,” ujar Denny.
Tetapi, sambungnya, NU dan Muhammadiyah sendiri justru tidak pernah mengklaim tragedi itu sebagai keberhasilan, malah banyak di antara mereka yang melihatnya sebagai tragedi kemanusiaan, di mana saudara sebangsa saling membunuh atas nama ideologi.
“Tapi kok yang sering teriak ‘Islam menang atas PKI’ itu PKS dan FPI, ya? Mereka itu organisasi yang lahir tahun berapa? Lha organisasi masih piyik kok sibuk klam-klem kayak mereka dulu berjuang melawan komunis saja,” sentilnya.
Malah, Denny merasa, kalau melihat sifat pengecut kelompok-kelompok itu, bisa jadi saat pemberontakan PKI mereka itu justru sembunyi karena takut, atau malah jadi pengkhianat itu sendiri.
Baru ketika menang, mereka koar-koar seolah ikut berjuang dan ada di garis depan.
“Karakter pecundang memang begitu, koarnya paling depan, tapi ketika dihadapkan masalah, kabur paling duluan,” sindir Denny, pedas.
Kemudian, yang kedua, Denny menyebut bahwa narasi PKI itu selalu dihantamkan ke lawan politik mereka.
Jokowi dan keluarganya adalah contoh bagaimana mereka difitnah habis-habisan dengan tudingan PKI supaya masyarakat takut dan curiga kepada mereka.
Ini yang menurut Denny disebut dengan post truth, atau kebohongan yang disamarkan dan dipropagandakan berulang-ulang supaya akhirnya diyakini orang sebagai kebenaran.
Fitnah bahwa Jokowi dan pendukungnya adalah komunis ini, lanjut Denny, sebenarnya tak pernah berhasil, karena strategi licik ini diketahui oleh banyak orang pendukung Jokowi di media sosial.
“Nah, daripada terus menerus dituding sebagai PKI, kan capek, akhirnya para pendukung Jokowi balik menuding mereka sebagai kadrun,” jelasnya.
Strategi post truth yang dibalikkan ini rupanya berhasil, dan mereka gelagapan karena stigma kadrun lebih deras hantamannya daripada PKI.
Malah, kisah Denny, ada yang mengaku “ustadz” bilang kalau stigma kadrun itu muncul sejak sebelum tahun 1965, dan dipropagandakan oleh PKI untuk menyerang “umat Islam”.
“Halu banget gak sih, wong istilah kadrun atau kadal gurun itu baru muncul sejak sebelum Pilpres 2019, kok tiba-tiba dibilang istilah lama?” ucapnya.
Dan sekarang sudah bulan September, sekali lagi, gorengan PKI mulai dibangun kembali meski sudah basi.
Tapi lucunya, Denny melihat ada saja orang yang masih suka makanan basi, dan itu target untuk dikapitalisasi.
“Yang pertama kali suka sekali mainan PKI adalah PKS. Partai yang sok paling Islam ini kembali meluncurkan isu PKI dan menganggap nonton bareng film lama G30S/PKI ini wajib kembali diputar oleh pemerintah. Dan yang tidak memutarnya adalah bagian dari PKI. Kocak, kan?” katanya.
Ia pun kemudian balik bertanya, “Emang, hei PKS, kalian di mana waktu PKI berontak? Wong lahir aja belum, sok-sokan nuding orang PKI.”
Yang kedua, menurut Denny, adalah kelompok garis keras seperti FPI, yang sekarang berubah menjadi Neo FPI.
Mereka, menurutnya, sekarang sibuk bikin Garda Bangsa untuk menyelamatkan Indonesia dari PKI.
“Please deh, Garda Bangsa? Sejak kapan kalian FPI punya ideologi kebangsaan? Wong ideologi mereka adalah pembentukan negara agama, jauh dari cita-cita pendiri bangsa ini yang ingin Indonesia berdiri di atas semua suku, ras,dan agama,” katanya.
Lagian, di mata Denny, cara-cara yang dipakai FPI dan kelompoknya ini sebenarnya mirip-mirip sama PKI.
“PKI suka mainin post truth, FPI juga suka. PKI ingin seragamkan Indonesia menjadi berpaham komunis, FPI ingin negara ini berpaham satu agama. Apa bedanya? Bedanya cuma bajunya doang, cita-cita mereka sama, menempatkan ideologi identitas sebagai ideologi negara. Jadi maaf, kalau saya bilang, FPI inilah sebenarnya Neo PKI. Caranya sama, bajunya doang yang beda,” tegas Denny.
Terakhir, ia menyinggung pula soal mantan Panglima TNI yang suka sekali dengan nonton bareng film G30S/PKI, bahkan ketika masih menjabat.
“Saya gak perlu jelaskanlah tentang beliau, kita tonton saja video wawancaranya yang lumayan lucu ini,” kata Denny, seraya menyajikan petikan wawancara mantan Panglima TNI, Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo, dengan Rosiana Silalahi di Kompas TV.
Pada wawancara tersebut, Gatot Nurmantyo menciptakan logika berpikir bahwa yang menghapus poin-poin tentang riwayat pemberontahan PKI dari mata pelajaran sejarah, yang mengusulkan pencabutan TAP MPR terkait PKI, juga yang menghilangkan kewajiban nonton film G30S/PKI, ya siapa lagi kalau bukan PKI?
Pernyataan Gatot tersebut, yang sudah berulang-ulang diingatkan Rosi sebagai sangat sensitif, akhirnya dibantah Usman Hamid, Direktur Amnesty International Indonesia, yang juga hadir dalam program talkshow tersebut.
Menurut Usman, logika yang diciptakan Gatot itu cenderung lompat-lompat.
Pelurusan kekeliruan dalam pelajaran sejarah diusulkan oleh Menteri Pendidikan di era Presiden Habibie, Juwono Sudarsono; usul pencabutan TAP MPR terkait PKI dilakukan oleh Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur; sementara penghentian kewajiban nonton film G30S/PKI dilakukan Menteri Penerangan pada Kabinet Habibie, Yunus Yosfiah, yang merupakan senior Gatot Nurmantyo di TNI AD.
Apakah dengan begitu, Gatot sudah menciptakan logika untuk menuding Juwono Sudarsono, Gus Dur, dan Yunus Yosfiah sebagai PKI?
“Lucu, bukan?” pungkas Denny Siregar. [yhr]