WAHANANEWS.CO, Jakarta - PAN turut merespons usulan Ketum Golkar Bahlil Lahadalia terkait koalisi permanen. PAN sepakat dengan usulan tersebut namun perlu dimasukkan dalam UU Pemilu.
"Pernyataan ketua umum Golkar, Mas Bahlil Lahadalia, patut diapresiasi dalam meletakkan fondasi membangun sistem presidensial Indonesia ke depan dengan multi partai. Jika koalisi permanen menjadi keputusan politik seluruh partai, maka harus masuk di pasal di UU Pemilu. Jika itu terjadi, maka PAN satu pemikiran dengan Golkar," kata Waketum PAN Viva Yoga Mauladi, Sabtu (6/12/2025) melansir detikcom.
Baca Juga:
Sepanjang Reses Ke-III, Dariyanto Rangkum Aspirasi Warga Soal Infrastruktur dan Pendidikan
"Kita tunggu jadwal revisi UU Pemilu (kodifikasi dari tiga UU, yakni UU Pilpres; UU Penyelenggara Pemilu; UU Pemilihan Anggota DPR, DPD; DPRD Provinsi, Kabupaten/ Kota)," lanjutnya.
Di sisi lain, Viva menyebut usulan koalisi permanen memang kerap muncul di setiap pembahasan revisi UU Pemilu. Di UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu sebagai dasar hukum penyelenggaraan pemilu 2019 dan 2024, tidak ada pasal yang mengatur tentang pembentukan koalisi permanen, baik sebelum atau setelah Pemilu Presiden dilaksanakan.
"Sewaktu di DPR (2009-2019), saya pernah dua kali menjadi anggota Pansus RUU Pemilu. Isu koalisi permanen selalu muncul dalam setiap pembahasan Undang-Undang tentang Pemilu," ujarnya.
Baca Juga:
Rajut Semangat Kebersamaan di HUT ke-61, Golkar Nias Utara Bagikan 1.000 Paket Sembako
Meski begitu, Viva menilai wacana koalisi permanen juga memiliki konsekuensi politik yang perlu dipertimbangkan secara matang. Menurutnya, penataan koalisi dalam sistem presidensial tidak bisa semata dilihat dari sisi penguatan pemerintahan, tetapi juga harus memperhitungkan dinamika hubungan antara presiden dan parlemen.
"Secara empiris di dalam pemilihan langsung di pilpres, ada dilema politik ketika ada koalisi permanen. Jika paslon yang terpilih didukung oleh partai politik yang memiliki kursi minoritas di DPR, maka akan terjadi potensi instabilitas politik karena relasi lembaga eksekutif dan legislatif akan berada dalam tensi dan dinamika tinggi," ujarnya.
"Besar kemungkinan presiden terpilih akan mengalami sandera politik oleh DPR karena hanya memiliki kekuatan minoritas. Jika hal itu terjadi maka pemerintah tidak akan dapat bekerja maksimal untuk merealisasikan visi dan janji-janji politik saat kampanye," lanjut Viva.