Oleh karena itu, ketika gugatan PK diajukan, ia memilih untuk membela keputusan yang telah diambil pada tingkat pengadilan sebelumnya.
"Digugat ke pengadilan, kita bela. Menang. Naik banding, kita bela lagi keputusan pemerintah, menang. Kita bela lagi ke tingkat Mahkamah Agung lalu menang, kan sudah inkrah. Lalu sekarang ada PK, ya saya bela dong ini kan keputusan pemerintah di mana saya ikut membuat," ucapnya.
Baca Juga:
Menko Polhukam Pastikan Layanan PDNS 2 Kembali Normal Bulan Ini
Menurut Mahfud, secara logika, kemungkinan PK yang diajukan oleh kubu Moeldoko saat ini akan dikabulkan oleh hakim terlihat kurang masuk akal.
"Kubu Moeldoko telah kalah dalam keputusan Menkumham dan tiga tingkat pengadilan sebelumnya. Berharap untuk menang dalam situasi ini adalah terlalu optimis, meskipun mungkin saja ada keajaiban. Menurut saya, hakimnya adalah orang yang rasional, jadi keputusannya akan berfokus pada apakah keputusan itu sah atau tidak sah," ujar Mahfud.
Berdasarkan hal tersebut, ia menolak anggapan bahwa PK yang diajukan oleh kubu Moeldoko adalah bagian dari upaya pemerintah untuk merugikan Partai Demokrat.
Baca Juga:
Satgas dan Menkominfo harus Didukung untuk Berantas Judi Online
"Ada tuduhan bahwa pemerintah berusaha merugikan Partai Demokrat lagi. Tidak ada hubungannya. Pemerintah tidak terlibat dengan Partai Demokrat. Saya membela keputusan pemerintah karena yang digugat bukanlah Partai Demokrat, tetapi keputusan pemerintah. Oleh karena itu, saya membela keputusan tersebut karena saya ikut berkontribusi dalam pembuatannya," tegasnya.
Kasus ini berawal dari Kongres Luar Biasa yang diadakan oleh kubu Moeldoko di Deli Serdang, Sumatera Utara. Dalam KLB tersebut, Moeldoko dipilih sebagai ketua umum Partai Demokrat.
Kemudian, mereka menggugat SK Menkumham yang mengakui Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai ketua umum Partai Demokrat. Gugatan tersebut telah diajukan ke pengadilan, tetapi ditolak. Upaya banding juga tidak berhasil.