Pemohon menuturkan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) UU KUP pada hakikatnya mengatur larangan bagi fiskus dan tenaga ahli yang ditunjuk untuk membocorkan rahasia wajib pajak, bukan melarang wajib pajak atau kuasanya melakukan perekaman audio visual.
Dengan demikian, larangan merekam yang didalilkan DJP tidak bersumber dari bunyi norma UU KUP, melainkan merupakan penafsiran yang diperluas (over-extended interpretation) terhadap norma Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) tersebut.
Baca Juga:
Koalisi Sipil Gugat UU TNI ke MK, Minta Aturan Operasi Selain Perang Dirubah
Menurut Pemohon, tafsir yang digunakan DJP tersebut keliru dan berlebihan karena Pasal 34 UU KUP secara eksplisit hanya mengatur larangan bagi fiskus membocorkan rahasia wajib pajak, bukan melarang wajib pajak atau kuasanya untuk merekam proses pemeriksaan. Tidak ada satu pun norma dalam UU KUP yang membatasi hak wajib pajak atau kuasanya untuk merekam audio visual atas kegiatan pemeriksaan.
Sementara itu, Pemohon menyebut, secara internal, DJP justru mewajibkan perekaman audio visual terhadap kegiatan-kegiatan tertentu, termasuk namun tidak terbatas pada Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan Pajak (PAHP). Namun, dalam praktiknya kewajiban perekaman tersebut sering tidak dilaksanakan oleh fiskus.
Fiskus, kata Pemohon, sering tidak dapat menunjukkan rekaman audio visual yang semestinya menjadi satu kesatuan dengan berita acara PAHP. Dalih yang sering disampaikan adalah rekaman CCTV terhapus otomatis karena sistem overwriting. Alasan tersebut tidak dapat dibenarkan secara hukum, mengingat perekaman bersifat wajib dan bagian dari alat bukti resmi menurut aturan DJP sendiri.
Baca Juga:
UU TNI Digugat, Hakim MK Ingatkan: Kalau Pensiun Dihapus Bisa 80 Tahun Loh!
Kendati rekaman tidak ada, petugas DJP tetap menyatakan PAHP telah sah dan Berita Acara tetap digunakan sebagai dasar terbitnya produk hukum (misalnya SKP). Padahal, menurut SE-12/PJ/2016 huruf E angka 6, rekaman merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari berita acara; maka ketiadaan rekaman mengakibatkan cacat formil pada Berita Acara dan keseluruhan proses PAHP.
Karena itu, kronologi yang dialami Pemohon tersebut mendorong kebutuhan penegasan konstitusional. Dalam petitumnya para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) UU KUP bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 sepanjang dimaknai melarang Wajib Pajak dan atau Kuasa Wajib Pajak melakukan perekaman audio visual pada saat pertemuan dengan Fiskus.
Pemohon ingin pasal tersebut tidak terbatas pada a) kegiatan klarifikasi SP2DK (Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan), b) Pemeriksaan Lapangan, c) Pemeriksaan Bukti Permulaan, d) Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan (PAHP), e) proses Keberatan di tingkat Kantor Wilayah DJP, dan f) setiap pertemuan dan atau komunikasi resmi antara Fiskus dan Wajib Pajak/Kuasanya yang dilakukan dalam kapasitas hukum dan administrasi perpajakan.