Setelah itu, pemerintah daerah setempat malah mempersilakan pengembang-pengambang baru masuk ke Pulau Rempang.
“Ketika tanah yang sudah dikontrak (PT Makmur Elok Graha) ini tidak diurus, masuk pengembang-pengambang baru diberi izin oleh gubernur dan wali kota. Padahal ini sudah milik orang,” ujar Mahfud.
Baca Juga:
Menko Polhukam Pastikan Layanan PDNS 2 Kembali Normal Bulan Ini
“Nah, sekarang orangnya (PT Makmur Elok Graha) sudah kembali, ini dikosongkan. Itu yang terjadi keributan, Saudara, itu yang terjadi keributan sekarang ini,” lanjut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi tersebut.
Mahfud menjelaskan bahwa sebenarnya penduduk lokal di Pulau Rempang tidak memiliki masalah dengan rencana pembangunan Rempang Eco City.
Menurut Mahfud, yang menentang rencana pembangunan ini adalah orang-orang dari luar Pulau Rempang.
Baca Juga:
Satgas dan Menkominfo harus Didukung untuk Berantas Judi Online
"Siapa yang melakukan protes? Bukan warga Pulau Rempang," katanya.
"Para penduduk Pulau Rempang, dalam sebuah pulau terpencil yang sebelumnya tidak memiliki sumber penghidupan ekonomi, oleh pemerintah diberikan tanah seluas 500 meter persegi, rumah berukuran 45 meter persegi, serta uang tunggu sebesar Rp 1,2 juta, dan uang sewa rumah sebelum rumah mereka selesai dibangun sebesar Rp 1,2 juta. Mereka menerima hal ini. Yang melakukan demonstrasi adalah orang-orang dari luar," bebernya.
Bentrokan kemudian terjadi antara warga dan aparat gabungan TNI, Polri, dan Ditpam BP Batam pada tanggal 7 September 2023 yang lalu. Gesekan ini terjadi sebagai dampak dari sengketa lahan di Pulau Rempang.