WahanaNews.co, Jakarta - Terpidana mati kasus penyalahgunaan narkoba Mary Jane Veloso tidak bisa kembali lagi ke Indonesia jika dipindahkan ke negara asalnya, Filipina.
Hal itu pun berlaku apabila kelak Filipina memutuskan Mary Jane telah menyelesaikan masa pidana usai ditransfer dari Indonesia.
Baca Juga:
Menko Yusril Ungkap Napi WNI Paling bBanyak ddipenjara di Malaysia dan Arab
Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra mengatakan ada aturan mengenai penangkalan dalam batas waktu tertentu yang mengikat narapidana yang dipindahkan tahanannya ke negara asal. Teruntuk kasus narkotika, penangkalan berlaku seumur hidup.
"Mereka enggak bisa masuk (Indonesia). Kalau penangkalan itu kalau enggak salah sepuluh tahun. Kalau (kasus) narkotika seumur hidup," ujar Yusril di kantornya, Jakarta, Kamis (28/11).
Ketentuan yang sama juga berlaku untuk terpidana Bali Nine asal Australia dan salah seorang narapidana asal Prancis yang rencananya dalam waktu dekat-- ditargetkan bulan Desember mendatang--dikembalikan ke negara asal.
Baca Juga:
Menko Yusril Minta Semua Lembaga Pelayanan Publik Jadikan Aduan Sebagai Motivasi
Yusril menegaskan pemindahan tahanan atau transfer of prisoner harus melalui sejumlah persyaratan seperti negara asal tetap mengakui putusan pengadilan di Indonesia. Namun, karena Filipina tidak mengatur pidana mati, kemungkinan besar Mary Jane akan mendapat keringanan hukuman.
Pemerintah Indonesia, terang Yusril, akan menghormati apa pun keputusan Filipina yang akan diterapkan kepada Mary Jane.
"Kalau presidennya, kalau di sini menteri hukum atau menteri imigrasi atau sekarang Kakanwil mau memberikan remisi ya kewenangannya mereka. Kalau presidennya mau memberikan grasi, kewenangannya mereka. Kita harus menghormati kewenangan itu, tapi kita tetap mempunyai hak untuk memantau orang ini diapain pulang ke negaranya," kata Yusril.
"Jadi, pihak Filipina itu katanya Mary Jane mau ditempatkan di sebuah penjara wanita di City of Mandaluyong namanya, di tengah-tengah kota Manila itu ada nama kota Mandaluyong, dan katanya akan ditempatkan di situ," sambungnya.
Sementara itu, teruntuk pemindahan narapidana asal Australia dan Prancis masih dalam pembahasan. Utusan Australia akan tiba di Indonesia pekan depan. Sedangkan Prancis baru hanya mengirim surat permintaan saja.
JK tak masalah Mary Jane & Bali Nine dipindahkan
Sementara itu, Wapres ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla (JK) menilai wacana pemindahan napi narkoba Mary Jane hingga Bali Nine ke negara asal itu adalah sebuah solusi atas dua permasalahan.
"Ya, ini kan salah satu solusi, supaya kita jangan, itu menahan orang di negeri kita itu, kan beban juga dan itu juga, kita di lain pihak meminta juga, kalau ada orang kita luar negeri yang penting untuk masalah hukum di Indonesia juga kita minta seperti itu. Jadi, (manfaat) kedua belah pihak," kata JK ditemui di UGM, Sleman, DIY, Kamis siang, melansir CNN Indonesia.
Saat Jusuf Kalla masih menjabat sebagai wakil presiden RI, permohonan grasi Mary Jane ditolak Presiden RI ke-7, Joko Widodo (Jokowi) melalui sebuah keppres pada tahun 2014.
Namun kini, JK melihat wacana pemindahan Mary Jane ini juga akan berbuah keuntungan diplomatis bagi Indonesia, khususnya menyangkut pertukaran tahanan atau narapidana.
"Ada (WNI), ada di Filipina juga, itu yang, tentang penggelapan apa itu. Itu dijual, pencucian uang. Itu ada di Filipina," kata JK.
"Ya (wacana pemindahan Mary Jane) untuk suatu tepat atau tidak itu terserah pada hukum. Tapi kan saya katakan itu biasa saja, bisa saja," sambungnya.
Pandangan JK serupa dengan wacana pemindahan lima anggota sisa 'Bali Nine' di Indonesia ke Australia. Para terpidana ini ditangkap ketika JK masih menjabat sebagai Wapres RI tahun 2005 silam.
Permohonan grasi dua anggota Bali Nine, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran juga ditolak oleh Jokowi pada 2015 lalu.
JK tak ambil pusing para terpidana mati ini dipulangkan, asal mereka termasuk Mary Jane tetap dihukum setelah menjalani proses pemindahan dari Indonesia.
"Iya, enggak apa-apa, asal di negerinya tetap dihukum. Kita kan sanksinya, selama di penjara di Indonesia dan penjara Australia kan beda-beda. Bisa saja," kata JK.
Sebelumnya, pemerintah RI yang kini dipimpin Presiden RI Prabowo Subianto telah mengumumkan rencana pemindahan napi narkoba asal Filipina, Mary Jane Veloso. Mary Jane yang ditangkap 2010 silam karena kasus penyelundupan 2,6 kilogram heroin telah divonis hukuman mati di RI, dan akan menyelesaikan sisa hukumannya di Filipina.
Pada 2015 silam, dia sebetulnya akan dieksekusi bersamaan dengan napi Bali Nine, namun ditunda pada menit-menit akhir.
Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra menyampaikan Mary Jane akan dikembalikan ke Filipina dengan kebijakan "transfer of prisoner" atau pemindahan narapidana pada Desember mendatang.
Yusril menyebut Mary Jane kemungkinan besar akan lolos dari hukuman mati apabila ada grasi yang diberikan Presiden Filipina.
Adapun untuk lima anggota sisa dari jaringan penyelundupan narkoba 'Bali Nine', Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengatakan Presiden Prabowo Subianto sudah menyetujui proses pemulangan mereka ke Australia.
Supratman menjelaskan Indonesia belum memiliki aturan terkait mekanisme transfer terpidana antarnegara secara umum. Karena itu, Supratman mengatakan Prabowo meminta kepada Yusril dan dirinya untuk melakukan kajian.
"Prosesnya tinggal finalisasi. Kami akan melakukan itu dalam waktu, mungkin apakah Desember bisa atau awal tahun, saya belum bisa pastikan. Tapi pada prinsipnya Presiden setuju dan kami mempersiapkan itu," kata Supratman di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (25/11).
Supratman menjelaskan Prabowo telah mempertimbangkan persoalan kemanusiaan terkait pemulangan anggota Bali Nine serta Mary Jane ke negara asalnya masing-masing. Terlebih, Supratman menjelaskan Indonesia juga memiliki persoalan warga negara yang bermasalah secara hukum di negara lain.
Atas persoalan ini, ia berencana membentuk sebuah undang-undang yang mengatur mekanisme transfer narapidana antarnegara atau cukup diselesaikan melalui mekanisme Mutual Legal Assistance (MLA) semata.
[Redaktur: Alpredo Gultom]